"Ihhh, apaan seeh, tapikan lucuuuu tauuuuuuuu...
weeeeeekkkkk!"
Rambut adalah mahkota bagi wanita, jadi harus diperlihatkan kepada setiap orang!" katamu sangat tegas
"Model kayak gini dah cupu, kuno..."
Jogja, 29 Nov 2011
gambar
mungkinkah sebuah produk teknologi informasi canggih bisa musnah
dan kita akan kembali kepada peradaban yang lebih rendah lagi?
handphone, misalnya.
bagaimana bila tiba-tiba ia lenyap dari genggamanmu?
—lenyap bukan karena dicopet,
apalagi kau gadai sebagai caramu membayar utang (?)
sebab,
percuma saja aku punya handphone jika kini kau tak lagi menghubungiku.
sekedar sms atau telpon saja sudah tak pernah!
lalu,
apa guna handphone bagiku?
apa guna blackbarry bagimu?
apa guna pulsa, jika tak pernah berkurang
: sisa pulsa anda saat ini Rp 48.000. Aktif 15/09/11, Tenggang 15/10/11.
apa guna nomor cantik (baru), jika kau rahasiakan padaku...dan kau nikmati sendiri (?)
apa guna tanggal digital dalam fitur hp-mu, jika kau tak mau tau bahwa setiap hari aku selalu merindukanmu.
apa guna jam dalam hp-mu, jika kau tak pernah mengerti bahwa setiap waktu aku selalu sibuk mencintaimu.
dan apa guna alarmnya jika kau tak paham
: sebenarnya kaulah pengingatku saat kurangkai kata-kata ini...
Jogja, 1 Agustus 2011
gambar
taukah kau tentang malam yang panjang?
ketika bulan dan bintang ingin mengajakmu berbincang
dinginnya udara menusuki tulang belulang
keindahan langit membuatmu tercengang
lihatlah itu... sepasang kekasih saling berucap kata sayang!
hay, mengapa kamu bengong?
lihatlah itu sekali lagi, ini bukan negeri dongeng pengantar tidurmu
ini nyata dalam kesadaran penuh jiwamu, Pito.
kau selama ini hanya terkurung dalam dinding-dinding kastil yang tinggi.
pagar-pagar besi itu terlalu membelenggumu,
dan pintu-pintu besar itu selalu menutup matamu —mata batinmu juga.
Buta akan kehidupan sosial,
gagap akan interaksi sesama,
hilang komunikasi antar manusia selama ini.
mengapa tak cepat berontak, mendobrak dan teriak, Pito?
apakah kau belum sadar juga?
mana keberanian kala sekolah dulu?
mana benih 'pembangkang' yang dulu kau sombongkan padaku?
dulu lantang kau ingin menantang. dulu keras kau ingin melibas. dulu gahar kau ingin menghajar.
lalu??
Setelah puas mempercundangi, merekapun memutuskan pergi meninggalkan wajah kuyu si Pito.
wajah yang ditertawakan teman-teman baiknya pada saat sekolah dulu.
wajah yang merunduk....
wajah yang sepertinya darah tak mengalir melewatinya....
HUFFT...gerutu si Pito.
Jogja, 9/7/2011
gambar
Hari ini telah aku sadari
Seseorang yang haruss kumiliki
Bukan sebatas kecantikan parasnya
S’lama ini mungkin aku terlena
Kehadiran cinta sehangat mentari
Tak pernah ada cinta yang kuingini
Cleo...Cleopatra...
Cintamu cinta semu, menjauhkanku dari nyata… (kembali ke *)
Reff :
Cleo...Cleopatra...
Cintamu cinta semu, menjauhkan ku dari nyata…
Cleo...Cleopatra...
Kumohonn kau tak hadir, menghancurkan cinta hakiki
Adinda kuingin kau pun kembali
Betapa dalam kasih yang kau beri
Rasa ini sungguh menyiksa hati...
Adindaku maafkan s’gala khilaf
Menepiskanmu hanya karena paras
Namun semua telah terjadi sudah...
Kembali ke Reff
*Lagu ini adalah karya dari Adji Nugroho yang terinspirasi dari sebuah novel yang berjudul: 'Pudarnya Pesona Cloepatra', karya dari Habiburrahman El Shirazy.
Lagunya bisa didownload disini :)
gambar
[55.2] Yang telah mengajarkan Al Qur’an.
[55.3] Dia menciptakan manusia,
[55.4] Mengajarnya pandai berbicara.
[55.5] Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
[55.6] Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya.
[55.7] Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).
[55.8] Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
[55.9] Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
[55.10] Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk (Nya).
[55.11] di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.
[55.12] Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya.
[55.13] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.14] Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,
[55.15] dan Dia menciptakan jin dari nyala api.
[55.16] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.17] Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya.
[55.18] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.19] Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,
[55.20] antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.
[55.21] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.22] Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.
[55.23] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.24] Dan kepunyaan-Nya lah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung.
[55.25] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.26] Semua yang ada di bumi itu akan binasa.
[55.27] Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
[55.28] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.29] Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.
[55.30] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.31] Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin.
[55.32] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.33] Hai jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.
[55.34] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.35] Kepada kamu, (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (daripadanya).
[55.36] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.37] Maka apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.
[55.38] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.39] Pada waktu itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya.
[55.40] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.41] Orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandanya, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki mereka.
[55.42] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.43] Inilah neraka Jahanam yang didustakan oleh orang-orang berdosa.
[55.44] Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air yang mendidih yang memuncak panasnya.
[55.45] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.46] Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga.
[55.47] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?,
[55.48] kedua surga itu mempunyai pohon-pohonan dan buah-buahan.
[55.49] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.50] Di dalam kedua surga itu ada dua buah mata air yang mengalir.
[55.51] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.52] Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan.
[55.53] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.54] Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutra. Dan buah-buahan kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat.
[55.55] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.56] Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.
[55.57] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.58] Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.
[55.59] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.60] Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).
[55.61] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.62] Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi.
[55.63] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?,
[55.64] kedua surga itu (kelihatan) hijau tua warnanya.
[55.65] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.66] Di dalam kedua surga itu ada dua mata air yang memancar.
[55.67] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.68] Di dalam keduanya ada (macam-macam) buah-buahan dan kurma serta delima.
[55.69] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.70] Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik.
[55.71] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.72] (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah.
[55.73] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.75] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.76] Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.
[55.77] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55.78] Maha Agung nama Tuhanmu Yang Mempunyai kebesaran dan karunia.
Bukankah kita sering tergoda oleh masa depan?
Dengan tergesa bisa salah arah: gagal!
Aku tak berdaya,
Kadang, ingin sekali kutatap wajahmu sampai benar-benar aku merasa penuh. Akan kuperhatikan dengan detail apa yang membuatku terkagum-kagum padamu: mulai dari ujung rambut kepala hingga ke ujung kuku kakimu.
Ya, kau bagai lautan; semakin kupandang, semakin menjadi-jadi rasa penasaran ini. Sungguh, perempuan adalah permata dunia yang kilaunya lebih terang daripada intan berlian atau bintang-bintang di langit sekalipun.
Matamu, bibirmu, senyummu membuatku tak bisa tidur. Selalu terbayang wajah cantikmu. Apa sebenarnya ini?
Setelah kekaguman pada wajahmu menjenuh, seakan ingin kutelusuri hal-hal lain yang tetap saja membuatkau terpukau. Tutur kata yang keluar dari bibirmu, caramu saat melangkah atau apa saja yang menjadi kebiasaanmu. Kalau perlu mataku tak boleh berkedip sekalipun untuk memandangmu.
Kau juga mengenakan pakaian yang sejujurnya memaksaku untuk tak boleh terlewatkan menyaksikannya. Pakaian itu begitu ketatnya, seolah bentuk badanmu terlihat semua. Namun kau tak merasa risih atau malu mengenakannya, sungguh mengherankan bukan? Pemandangan yang tarifnya gratis, hehe...
Keadaan pergaulan memang telah terjungkilbalik. Perempuan yang mengenakan pakaian tertutup dianggap norak atau ketinggalan mode. Justru yang terbuka-terbuka itulah yang 'kudu' ditiru.
Tapi aku tak bisa melakukan untuk 'menikmati' semua itu. Agama mengajariku untuk menundukkan mata untuk hal-hal seperti itu. Aku takut karena-sebab birahi mata bisa menjerumuskanku kedalam jalan buntu kehidupanku.
Aku bukannya seorang penakut yang hanya memandang saja sudah tidak berani. Atau seorang pengecut yang hanya berani mencuri-curi pandang. Sungguh aku berusaha memegang teguh ajaran yang telah dikenalkan orang tuaku sejak kecil ini
Kenapa wajahmu yang cantik tak kau tutupi dengan jilbab? Kenapa tubuhmu yang sexy, selalu kau baluti dengan pakaian yang terbuka? Itukah caramu untuk membuktikan bahwa kamulah yang paling cantik atau sexy diantara yang lain? Bukankah itu sebuah kebodohan, yang hanya 'mengiurkan' mata mata yang selalu memupuk nafsu birahi semata? Ah, kamunya aja yang 'seneng' mempertontonkan saja. Kata orang sih cari perhatian.
Kadang kamu tak merasa betapa malunya anggota tubuhmu yang sengaja kau buka atau kau pertontonkan itu, kan?! Mungkin dia menangis, marah, jengkel, muak, benci karena kau perlakukan seperti itu.
Bukan begitu caranya, cantik! Hiasilah paras wajahmu dengan jilbab. Aku yakin kecantikkanmu tak akan luntur hanya karena pakai jilbab. Malah sebaliknya, kau tampak tambah cantik kok pakai jilbab itu!
Lalu pakailah pakaian yang menutupi aurotmu. Jangan kenakan pakaian yang hanya menghadirkan niat-niatan nakal kaum lelaki
Kalau sudah pakai jilbab dan pakai pakaian yang tak kesempitan itu, kamu seperti bidadari nyata, lho! ;D
Bagaimana bila aku rindu namun engkau telah tiada?
Tentu aku akan sulit mencari.
Bagaimana bila ingin kutunjukkan rasa bahagia ini, tapi engkau telah tak dapat merasa?
Betapa hilangnya jiwa ini.
: Hai sukma, tinggallah sejenak diraga kami.
Kami masih ingin mencinta, walau takharus dengan mencium.
Karena rindu yang tertuntaskan saat melihat dia baik-baik saja, bisa jadi lebih dari ciuman itu sendiri.
Bersama mengkhawatirkan saat petir ternyata ganas menyambar,menganggap tak layak menghabiskan tawa saat tak ada kehadiran yang lainnya, ataukah sendiri menyimpan duka sehingga tak kau beri air mata padaku (padamu), lalu rebah menyembunyikan isak tangis.
.....ah, sesungguhnya ayah juga sahabat, ibu juga dan engkaupun yang membaca juga sama saja.
Adji Nugroho (dB)
Jogja, 10 Agustus 2010
Hay, kau kira cinta itu apa?
Setelah dalam perjuangan menaklukkannya: berkepayahan merangkai puisi, berdarah-darah belajar gitar untuk dinyanyikan dihadapannya, bersolek menata rambut yang melanggar kodrat—disisir belah tengah, padahal dari kecil, Ibunya membiasakan menyisir ke kanan, menghadiahi setangkai bunga mawar hasil curian tanaman tetangga saat ulang tahunnya atau membelikannya coklat merk dagang 'ngutang' kawan, atau segala tindakan keromantisan yang justru memuakkan. Toh, akhirnya kau mendapatkannya.
Ku tahu perasaanmu tak sedahsyat saat proses mendekatinya dulu—anak muda sering menyebutnya pdkt. Yang membuatnya tak bisa tidur karena rayuan via sms atau bahkan obrolan dalam hpmu - hpnya yang berdering hampir tiap malam.
Lalu setelah kau berhasil mendapatkannya, kupikir dia hanya jadi pelengkap bara nafsumu; kau rangkuli, kau peluki, kau cumbui bahkan kau tiduri berkali-kali.
Tak ada lagi puisi, lagu, mawar ataupun coklat seperti dulu.
Tak ada pula sikap ksatria disana.
Lalu waktu menjenuhkanmu, lagi-lagi kau ingin ganti.
Hay, kau kira cinta itu apa!
Kang Ajik
Jogja, 20 Juli 2010
Saat usia usai: langkah bahkan terus berjalan. Bukan terhenti seperti saat turunnya palang rambu-rambu pertanda kereta api sedang melaju.
Bukan! Langkah akan terus mencari titik terang dari pekatnya kubur, kawan.
Lalu dengarlah ruh yang bergemuruh mengeluh sedih karena jalannya tersesat.
Lihatlah...tubuhnya gontai, lunglai tersayat pedih.
Dan kau masih berjalan bersiul menepis ketakutan yang menggigil, keringatmu menderas, gigimu bergemelutuk, pandanganmu tak fokus, jiwamu bergetar padahal tak pernah ada yang mengertak, kawan!
Sampai nafasmu tercengang: "Hah!, itu bukankah temanku?"
*te.man.ku—jiwa pada diri lain yang selalu bersama, bahkan kadang lebih diperhatikan agar sejati.
Lalu kau hanya diam, karena kau tau: sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menolongnya.
Ya...pekerjaan yang sering kau usahakan untuknya, saat usia masih setia dulu.
Manusia kini merapat untuk kembali
Namun jiwa ini melayang jauh meninggi
Manusia nanti terdiam karna tersadar
Terbayang langkahnya, harinya telah berlalu
Usia telah usai...
Usaha tiada guna...
Kang Ajik
Jogja, 12-Jun-10
Risau yang sedang terjadi, mungkin juga dirimu
Bingung mendefinisikan eksistensi diri, seperti anak burung hantu yang belum layak terbang malam ini...
Padahal cuaca terus berubah dan kehidupan tak pernah ada yang sama
Malam sepertinya mengerti, namun berlagak acuh tak acuh
Risau. Ya, seperti Ibu yang tak bisa tenang; anak gadisnya belum juga pulang, malam ini...
Sebuah pertanyaan besar telah membuat malam ini semakin jauh
Walau nyayian terus didendangkan dan penari tak pernah lelah menghibur: hati tetap saja terasa hilang
Yang ada hanya seorang lelaki yang ditinggal semburat diantara gelap
Risau ini layaknya tali yang mengikat perasaan terlalu erat
Udara membawa kenangan indah yang pernah ada
Kemana dia (?)
Ah, seolah tak pernah rela untuk melewatinya…
dB alias Adji Nugroho
Jogja, 06 Juni 2010
Berikut coretan dalam halaman motto skripsi itu:
HALAMAN MOTTO
:D
Adji Nugroho (kang Ajik)
Jogja, 15 Mei 2010
Setiap matahari sedang bersemangat menyengat, manusia selalu mengerutu meminta hujan kepada Tuhan
Namun saat hujan turun dengan lebatnya, didalam rumahnya dia terus saja menghujat
Seorang shaleh menyadari kondisi seperti itu lalu bermunajat: “Wahai pemilik bumi dan seisinya, kabulkanlah permintaan umat-Mu, karena sejatinya dia hanya mengharapkan yang tidak terlalu berlebihan dari-Mu”
Maka benar saja, siang itu hujan turun perlahan-lahan bersama teriknya matahari
Lalu sebagian manusia hanya berkata pada hatinya: “Kalau begini caranya, aku tak bisa menjemur pakaian-pakaianku yang masih basah, dunk…”
Sedangkan sebagian yang lain berkata: “Celaka aku!! Sawah ladangku pasti akan kekeringan, jika air hujan tak cukup curahnya”
“Hohoho, manusia selalu saja bingung dan membingungkan…”, Suara itu entah dari mana datangnya…(?)
AdjiNugroho (si dB)
Yogyakarta, 24 April 2010
Hay kawan, otakku mulai bero(n)tak!
…Ungkapan apa itu? Bahasanya aneh, aku tak paham!
Siapa pelempar bola panas kalimat itu?
Kurasa pengidap gila akibat ketidaksanggupannya bersinergi dengan realitas.
Imajinasinya hanya terbangun dalam tataran halusinasi.
Impiannya dikebiri oleh raja-raja tirani yang berwajah merakyat.
Sedang orang dekatnya selalu saja berpandangan kerdil atas apa yang dia abdikan.
Bukankah ini sudah terlalu penuh untuk membuatnya menjadi benar-benar gila?!
Tunggu-tunggu…jangan menyudutkan dia dulu; jangan-jangan itu adalah ungkapan tuntas yang sering terlintas dipikiran kita untuk sekedar menumpahkan kekesalan dikarenakan inspirasi yang kita harapkan tak juga datang mengetuk pintu jiwa?
Lalu kenapa huruf n pada kalimat berontak harus dikasih tanda kurung segala?
Seolah dia ingin mengecoh pembaca menjadi berotak.
Sehingga akan tertafsir bahwa otak itu berotak --otaknya menjalar dan terbentuklah otak baru yang lainnya.
Huh, dasar orang gila, buat apa kita pikirkan!!!
……setelah lebih dari seabad dari peristiwa itu, kini orang-orang yang jenuh, boring lalu mencurahkan perasaannya kepada kertas dengan menulis: Hay kawan, otakku mulai bero(n)tak!
Adji Nugroho (dB)
Yogyakarta, 18 April 2010
Wahai penari malam di bawah bulan…
Kau putarkan tubuhmu selayaknya gasing yang hendak mendekati bulan
Kau liukkan tanganmu, seolah-olah seperti ingin mengusap cantiknya paras bintang
Oh malam, selimutilah penarimu…
Wahai penari malam di bawah bulan…
Ku melihat kasih sayangmu sebesar bumi seisinya
Ku sadari pengabdianmu melebihi bulan pada malam itu sendiri
Oh malam, sambutlah penarimu…
Jika kayu dibumihanguskan oleh api,
Jika perahu dihanyutkan dengan air,
Jika pohon ditumbangkan bersama angin,
Maka akan kukatakan bahwa tarianmu menghancurkan bala amara murka dunia
Menarilah…menarilah berulang lagi…
Ku masih menyimpan penasaran dari makna kehadiranku
Kau belum memuaskan dahagaku akan kesyahduan kehidupan
Yang masih kuanggap jahat, beringas, kejam dan mencekam!
Menarilah…menarilah, bolehkah kau ajarkan kepadaku?
Kulihat tarian itu begitu dekat, pesonanya mambuatku jatuh cinta seluas samudra
Ajarilah aku, maka kelak jalanmu akan kutapaki
Wahai penari malam di bawah bulan
Adji Nugroho (dB)
Yogyakarta, 14 Maret 2010
Rokokmu kau hisap, lalu asapnya kau muntahkan dihadapanku.
Lewat hidungku, asap rokokmu merambat menuju otakku ; benar-benar seperti menabuhi genderang perang!
Kaupun mulai bertanya : mengapa kau berhenti merokok?
Aku lantas menjawab : aku bosan, aku ingin menghisap nuklir!
Hahaha...
Sama ketika kau mengomentari anak-anak yang bermain petasan waktu itu : ah, beraninya dilempar! Kalau berani dimut!!, sambil membuang putung rokokmu.
-Adji Nugroho (dB)-
Jogja, 31 Januari 2010
Semisal buku, film, lagu dihadirkan tanpa judul, apakah kau tetap ingin membacanya, menontonnya atau mendengarkannya? Apakah kau masih ingin mengunjunginya di rak Perpustakaan, di bangku Bioskop atau ditoko-toko kaset kesayanganmu?
Ya, giliran judul atau nama yang akan kita improve, sekarang. Akan kita jabarkan bersama. Akan kita bedah bareng-bareng. Akan kita telusuri ulang pemaknaannya ; sering kita sebut (memangil nama seseorang) namun kadang kabur, betapa berartinya itu.
Bayangkan dunia tanpa judul. Tanpa nama. Mungkin akan seperti gadis perawan tanpa busana, hanya menuju kejahiliahan kembali, bukan? Mungkin saja.
Tapi kau tetap saja tak mau mengenalkan nama pemberian Ibu dan Bapakmu itu, kepadaku.
Siapa sih namamu?
Mereka memanggilmu apa?
Bagaimana aku menyebutmu?
Tentu aku tak akan sembarangan memanggilmu, kan?
Lalu jika aku panggil ‘Fulan’ seperti kisah-kisah pada jaman Salafi, apakah kau akan mencari sumber?
Lalu jika aku sebut ‘Bunga’ seperti korban-korban pemerkosaan atau pencabulan yang tak mau identitasnya diketahui orang bayak, apakah kau akan memperhatikan dan siap diajak ngobrol ngalor-ngidul? Entahlah…
Asal kau tau saja, aku tak pernah sepakat dengan kutipan William Shakespeare yang pernah sesumbar bahwa nama itu tidaklah penting (apakah arti sebuah nama?).
Menurutku nama itu ibarat judul buku yang akan dengan menarik didisplay dirak strategis toko buku, ibarat judul film yang akan terpampang pada iklan 21 dan ibarat judul lagu yang akan direquest pendengar setianya diradio dan televisi.
-Adji Nugroho (dB)-
Jogja, 09 Januari 2010
Petikan Harpa mu telah mengenyahkan rasa hampa dirongga dada.
Senarnya kau petik dengan jemari yang lentik dan bola mata yang kadang melirik...
Gesekan Biola mu membingkis kado bahagia bagi si jiwa.
Tubuhnya kau sandar dilingkar leher lalu kau mulai mabuk alunannya...
Tiupan Clarinet mu melarungkan rasa penat, jauh dari cahaya yang terlalu menyengat.
Dia kau tiup, lalu menghembuskan ketenangan diatas rata-rata...
Oh, mohon sekali lagi mainkanlah.
Mainkan...mainkan musik klasikmu...
Yang melantun sedetik demi sedetik berdetak di jarum jam dinding jiwaku.
Yang turun serintik demi serintik di hujan gelora darahku.
Yang terkumpul sedikit demi sedikit di sela-sela rak-rak jantung hatiku.
Nada-nada yang terstem,
membawa sepoi,
membuai,
lalu kuucap aduhai....
-Adji Nugroho (dB)-
Yogyakarta, 2 Januari 2010
Aku akan menjelma menjadi puisi
: Jika kata hendak dirangkai dalam bingkai intonasi dan ekspresi pembebas belenggu diri.
Aku akan mewujud menjadi lagu
: Jika nyanyian dapat melepas simpulan mati, tali pengikat penat.
Aku akan menjadi film
: Jika bosan memburu tanpa ampun dan jenuh bertengger memenuhi isi kepala.
Aku akan berubah menjadi lukisan
: Jika sketsa mengingatkan kenangan, sekaligus mengembalikan gambaran akan sebuah harmoni kehidupan.
Bukalah hatimu...
Bukalah seperti hendak membaca buku ;
selembar demi selembar, halaman demi halaman menelusur ke sebuah materi puisi, lagu, film dan lukisan yang mengukir bentuk eksistensimu.
Adji Nugroho (dB)
Jogja, 27 Desember 2009
Bila waktu tak kunjung tiba
Saya akan pulang berbekal bangga
Telah mengoreskan cita bersama Anda
Meskipun semua masih rencana
Bila waktu tak kunjung tiba
Ingatlah saya dengan cerita
Seorang pembiasa yang tak pernah terima
Raut sedih diwajah Anda
Bila waktu tak kunjung tiba
Tenangkan saya bersama do'a
Saya dan Anda tak luput dosa
Semasa masih tinggal didunia
Bila waktu tak kunjung tiba
Ya sudahlah, terima saja takdir yang ada
Bahwa larangan terhindar sekuatnya
Sedang perintah, sebagian sudah terlaksana
Adji Nugroho
Jogja, 18 Desember 2009
(Jangan takut, dunk! Ini kan cuma puisi. Puisi percobaan make stile sentuhan bahasa yang baku, hehe)
aku ingin mengenalmu secara otodidak ;
tanpa guru, tanpa perintah yang susah aku mengerti
SEPERTI BERMAIN GITAR
aku ingin memetikmu ;
sekedar menghidupkan ruang-ruang sunyi tanpa bunyi
SEPERTI BERMAIN GITAR
aku ingin menghabiskan setiap langkah waktuku ;
memelukmu lebih dekat, lekat dan semakin erat
SEPERTI BERMAIN GITAR
aku ingin menyanyikan getaran hati ;
mengungkapkan bahasa-bahasa yang tak pernah ada dalam mata pelajaran
Adji Nugroho (dB)
Yogyakarta, 15 Desember 2009
Logikaku seperti tertabrak motor dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ia lalu terpental jauh, jatuh berguling-guling bahkan terpelosok dibawah jurang. Tapi aneh, sungguh aneh. Tubuh logikaku masih utuh. Tidak ada luka berat, bahkan lecet sedikitpun (ntah, kenapa?? ). Tubuh logikaku masih bisa berdiri dengan tegaknya, seolah tak pernah terjadi peristiwa mengerikan tersebut.
Ia lalu membersihkan bajunya dari debu yang mengotorinya. Debu dan sampah dedaunan tepatnya. Sambil masih terheran, ia melihat bagian tubuhnya satu persatu. Dan benar ; tak ada masalah. Ia baik-baik saja. Ia lalu tersenyum, seolah dialah yang paling sakti diantara logika-logika yang lain.
Mungkin motor yang menabrak logikaku tadi sejenis moge (motor gede) atau memang motor yang dipersiapkan untuk balapan liar (bali) dini hari. Ia (logikaku) juga tidak terlalu jelas melihatnya. Begitu cepat, begitu singkat.
Mungkin jika dimintai laporan di Kantor Polisi, jawaban-jawaban logikaku tadi dianggap lemah dan tidak jelas. Susah untuk menemukan pelakunya. Sangat mungkin, logikaku hanya bisa bercerita seperti ini : “ Dini hari itu (Minggu, 22 November 2009), saya yang sedang gundah hatinya memilih untuk keluar rumah sekedar mencari angin liar. Ntah kenapa jalan yang telah lama saya telusuri itu belum juga mampu menghilangkan murung dan perasaan campur-aduk dalam hatiku. Lalu saya niatkan untuk menyusuri jalan yang lebih panjang lagi. Semakin panjang dan sangat panjang! Sampai tak ku sadari bahwa jalanan semakin lengang dan senyap tanpa sahut-sahutan lampu motor yang biasa ada di jalan. Saat itu jalanan menjadi sangat hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Dan situasi seperti itu semakin membuat dingin kulit tubuhku.
Saya akui bahwa malam itu, saya berjalan dengan melamun ; tak fokus melihat jalan. Kadang sedikit terpeleset pasir atau tersandung kerikil jalanan. Ya tersebab itu tadi, saya tak fokus melihat jalan.
Lalu seketika, saya mendengar suara motor dari arah kiri yang berbelok kearah kanan dengan kilatnya. Cepat. Singkat. Tanpa memberikan jeda atau menghelai nafas.
Lalu berhadapanlah kami satu sama lain. Saya sempat marah karena ketidaksopanannya mengendarai motor. Tapi sepertinya dia tak menggubris ekspresi ketidaksukaanku padanya. Ia semakin saja mengeber tuas gas. Saya tak tahu apa maksud sipengendara motor itu. Ia semakin menyencangkan laju motornya ke arahku. GUBRAAAAK!!!!....terjadilah peristiwa itu, Pak Polisi”
Nb : Anda tidak akan pernah salah seperti keliru menghitung angka-angka dalam soal matematika atau menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu guru yang belum Anda pelajari malam sebelumnya, jika menganggapku GILA! :)
Jogja, 28 November 2009
Mengapa?
: seperti tak bisa ditebak,
tabiat mudah jenuh, membuat kami harus sering-sering berfikir kreatif berkenala menjelajah mengakrabi alam.
Meskipun status telah diupdate, youtube tak lagi buffering, jetaudio telah memenuhi ruang dengar, chathing sama pacar yang jauh, sms dan handphone yang sering berdering, tv dan radio yang mengoceh, mainan game bola,
tapi jenuh tetap saja bertengger dikepala...
Apa?
: alam sebenarnya tak butuh untuk dikunjungi,
karena angin, air, langit, debu, batu, pasir, tanah merah, ilalang, rumput gajah, pohon asam sudah terlalu sibuk menyelesaikan tugasnya sebagai penghias semesta ini.
Kemana?
: dibanding dengan kami,
jenuh sering banget menziarahi kami.
Lalu, kali ini, pantai akan menjadi tempat melarung rasa itu.
Siapa?
: jalanan yang lengang, curam, menanjak, berkelok semacam papan surfing yang mengasikkan.
Hamparan sawah menghijaukan mata,
bentangan langit mengharu birukan persahabatan,
bukit tinggi berdiri angkuh layaknya jagoan pasar yang ditengah perjalanan tadi sering kami ditemui,
padang pasir pantai jelas asik buat bermain bola kami.
Pandang Terbentang
Berjalan menuju tebing sekedar melihat langit,
sesekali menundukkan pandangan menatap seseorang yang memancing ikan dengan gagangnya yang panjang dan dia yang berperahu ditengah gelombang laut.
Ditepian, anak-anak kecil juga mencari ikan, mandi membasahkan bajunya meski tak bisa berenang dan menciprat-cipratkan air asin itu. Sedang orang tuanya hanya mengamatin ya.
Ah, saat itu sepertinya langit dan laut saling bersaing beradu biru...
Jogja, 29 Jan 2011
Lagu-lagu itu,
lagi-lagi memekakkan kedua gua telinggaku.
Memaksaku kembali pada masa jadul,
walau aku berikeras tak mau mengunjunginya lagi...
Aku takut akan mengoyak perih hati yang telah mengering (dari dosa cintaku)
Dosa yang mulanya kita pikir serba indah —romantis seperti adegan kemesraan pacaran dalam film-film luar negri— karena kita lakukan atas dasar cinta yang besar dan sukasamasuka.
Lalu kita tiru secara bulat-bulat tontonan itu, hingga kita sering melakukannya. Lagi, dan lagi...
Wajar saja,
saat itu kita masih sama-sama labil, Callia.
Kau masih memakai seragam putih-biru, sedang aku baru persiapan untuk menghadapi ujian kenaikan kelas 3 di salah satu SMA terkemuka di kota Bogor.
Taukah kau,
lagu-lagu itu kini terdengar lagi.
Kali ini terdengar sangat keras. Keras sekali.
Membuatku harus menutup telinga dengan bantal tidur —aku tak ingin mendengarnya lagi.
Ya, lagu dalam kaset yang dulu pernah aku kadokan sebagai hadiah ulang tahunmu yang ke-15 tahun itu, kini tiba-tiba muncul kembali, Callia.
Kenapa lagu-lagu itu bisa mengudara lagi?
Ah, aku sungguh tak mau mendengarnya,
namun aku juga tak kuasa mematikan atau mengganti tuner radio-tape kekanan ataupun mundur kebelakang.
Lagu itu memaksaku ingin didengar; seolah terhipnotis, akupun khusuk mendengarkan bait demi bait syair lagu itu.
Membangkitkan dosa yang telah aku bunuh perlahan-lahan, dengan belati penyesalanku.
Callia, kekasih yang ditinggal mati nafsuku,
maafkanlah aku...
Aku tak bisa meneruskan kejahatanku —memupuk subur nafsuku atas tubuhmu
: menggebu mencumbu gigir bibirmu, memeluk pinggang rampingmu erat-erat atau membelai rambutmu yang tergerai.
Aku tak bisa lagi...
Sejak peristiwa kecelakaan maut (saat kita ingin pulang sekolah itu), hatiku tertambat ingin bertaubat.
Berton-ton hikmah dengan mudah meresap di sanubari hatiku.
Ternyata, selama itu kita hanya menyakiti Tuhan, Callia (kekasihku)...
Tuhan sayang kita semua, kok!
Buktinya kita masih diberi kesempatan untuk hidup, kan?! Secara logika, kita seharusnya telah mati.
Bukankah saat itu, motor yang telah aku sulap untuk ajang balapan liar itu menabrak truk tronton dengan kecepatan 110 km/jam. Tanpa helm. Lalu kita terguling di tengah jalan dan tersambar kendaraan yang ada dibelakang, sampai kita terseret 50 m kedepan?
Namun, kita sering mengingkari Tuhan dengan perilaku yang kotor, keji, hina, norak!!
Taukah kau, Callia, yang kita lakukan selama itu hanya pantas dilakukan oleh sebangsa hewan. Yang tak punya malu. Tak ada aturan!
Ah, aku ingin sekali membunuh sekali lagi masa lalu kita. Aku benci mengingat itu semua.
Kesadaran imanku seakan tumbuh.
Sebelum penyesalan itu semakin membesar bak bukit, aku harus memutus jembatan kenakalan cinta kita, Callia.
Aku harus meninggalkannmu —atau setidaknya melupakanmu dalam jarak waktu yang tak terbatas,
untuk membuat catatan hidup baru dan tentu saja pada lembaran baru pula, Callia...
Mafkan, aku.
Terkesan aku tak bertanggungjawab atas perbuatan yang kita lakukan berdua.
Seperti egois,
aku ingin meratapi nasib hitamku tanpa kau disisi.
Inilah keputusanku,
kita harus berpisah, Callia....
"...pendengar setia radio ELPAS 103.6 FM yang berbahagia, lagu yang baru saja diputar, direquest oleh Callia untuk kekasihnya. Jangan kemana-mana, karena masih banyak lagu-lagu top hits dalam maupun luar negeri yang akan segera mengudara untuk para pendengar setia semua sampai tenggah malan nanti.."
Jogja, 19 Jan 2011
Sepi...
aku ingin menyibak tirai syahdumu,
mengintip pesona senyum perempuan lugu, lewat jendela kayu tinggi rumah gundahku.
Penuhnya ruang jiwa dengan segala rasa hampa dalam hidup, bosan juga dijalani setiap manusia.
Aku harap kamu tak lekas sadar, ketika aku menjelma menjadi sebuah alat pengintai —radar, mematamataimu, dengan detail kekaguman yang tumbuh subur padamu.
Lalu getar! Tiba-tiba aku menjadi sangat ketakutan dan malu atas tindakan pengecutku ini.
Ah, ternyata aku mulai suka kamu...
***
Ini memang memalukan. Sebagai seorang laki-laki, ini sungguh T.E.R.L.A.L.U!
Namun, bukankah aku telah berani mengakui kalau aku suka kamu?
Belum cukup, ya? Belum??
Hemm...lain kali akan aku coba yang lebih 'laki-laki' lagi, deh!; menyapamu dengan "Assalamu'alaikum", mungkin,
mengajakmu beli buku baru, mungkin,
mentraktirmu makan bakso, mungkin,
nonton film di bioskop, mungkin,
atau cuma pulang bareng dari tempat kerjamu?
Ih.., kok cuma mungkin, beneran, doong!
Apa? Tolong, katakan sekali lagi, tadi aku kurang jelas mendengarnya: kamu mau aku melakukan semua itu??
Waw, aku sungguh bahagia!
***
Lalu, lama-lama aku mulai risih dan gusar dengan sikapku yang kekanak-kanan ini. Aku mulai memberanikan diri mengungkapkan rasa cinta itu...
Singkat cerita, gayungpun bersambut —walau sesungguhnya aku hampir putus asa menaklukkan hati perempuan lugu itu— kitapun berdua resmi menjadi pasangan kekasih, menikah dan harapan-harapan indah seolah akan segera terjadi.
Telah tertancap pada hati kami, kelak bisa menjalani hidup bersama keramaian anak-anak dan banyak cucu yang lucu-lucu.
Namun harapan, hanyalah sebuah sesuatu yang belum pasti.
Sampai akhirnya, waktu mencabik-cabik cerita cinta kita yang terbangun dari kesetiaan dan impian menarik setiap manusia.
Kaupun tak kuasa menahan kanker otak yang telah lama akrab denganmu.
Kata Dokter Spesialis disana, penyakitmu itu telah akut,
dan aku merasa sangat menyesal-marah-jengkel tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk membesarkan jiwamu: melanjutkan hidupmu —mewujudkan harapan-harapan indah saat pernikahan kita dulu.
Lalu, dengan sedikit memaksa, tiba-tiba kau ingin dipeluk erat di ICU rumah sakit itu,
membasahi bahuku dengan linangan air mata dan isak sesak tangismu, tangis kita, tangis keluarga dan siapa saja yang melihatnya.
Seolah ingin mengatakan sesuatu,
sampai akhirnya kau benar-benar menghela nafas panjangmu.
Aku rindu kamu, sayang...
***
Gila!! Ya, aku memang tergila-gila pada memori settingan cerita Tuhan, kala itu.
Kini kau telah tiada, mana bisa kita mengulanginya lagi?
Apa aku harus mengutuk kondisi saat ini?
Oh, tentu tidak. Aku harus terus belajar berdamai dengan kenyataan, bukan?!
Aku hanya ingin me-reborn rasa itu saja.
Saat ini aku benar-benar merindukan kamu, sayang!
***
Aku coba membuka jendela itu lagi,
berharap terjadi hal yang sama seperti dulu,
: tapi,
kamu,
tetap,
saja,
tak,
ada...
Jogja, 14 Jan 2011
gambar