Hatimu memang telah tertutup tanpa ada celah.
Biarlah kutunggu hingga datang sepasang jenuh dan lelah.
Kuyakin suatu saat pasti akan terbukakan.
Seperti jendela, merindukan datangnya semilir hening udara pagi...
Sampai kapan kau harus tersembunyi?
Bintang saja akhirnya muncul, setelah mendung meraba sang malam.
Sampai haruskah kutodong siang hanya untukmu merasa senang?
***
Selalu, sinar tenar yang terus kau cari!
Padahal malam buatmu merenung.
Tapi kau persetankan juga nasihatku ini.
Hingga kau marah dan tak lagi ramah.
Telah bosan kupintakan berulangkali kata maaf!
Toh, kau tetap saja keras kepala, kaku serupa huruf Alif.
Mengertilah, nasihatku tak akan menyesatkanmu...
Layaknya seorang ibu menyeramahi anaknya untuk tidak bermain hujan.
Kau tau?Karna hujan hanya akan membuatnya menggigil kedinginan.
Akhirnya aku hanya bisa menunggu.
Menunggu, hingga kau 'mau' kuganggu.
(Jakarta, 09/09/09)
Ingatkah dirimu, bahwa janji kita terlanjur tergantung tinggi dilangit-langit rumah impian yang kita bangunkan dari materi-materi keyakinan?!
Ya....lalu kita sepakati untuk memanjat dan menggapainya.
Kau payahkan beribu-ribu anak tangga langkahanmu, sedang aku sedikit berbuat curang dengan galah bambu yang kusambungkan tali disimpul mati.
Masihkah kau mengingatnya?
Namun semuanya belumlah terkena.
Hingga kau tergelincir dan hampir terjatuh tak kuasa meraihnya.
Masihkah kau mengingatnya?
Oh, janji itu kini masih melayang layangan diantara handphone kita...
Handphone yang siang itu hanya aku getarkan, takut mengganggu keintiman pembicaraan.
Namun ternyata tetap kuangkat juga, karena kamu terus saja memanggilnya.
Tadinya aku pikir hanya sekedar menyapa biasa, hingga akhirnya tersimpul janji diantara kita.
Masihkah kau mengingatnya?
Harus kau mengingatnya, paling tidak ; pesta rakyat momentumnya...
Jika mungkin khawatir akan terlupa, baiklah aku kirimkan pesan singkat saja ke nomermu.
Sehingga bisa kau baca kapan saja, dimana saja.
Bahwa kita pernah berjanji.
Janji yang tersambung diantara handphone kita, siang itu.
(Jakarta 2009, siang didepan Menara Masjid Al-Hikmah)
Ya....lalu kita sepakati untuk memanjat dan menggapainya.
Kau payahkan beribu-ribu anak tangga langkahanmu, sedang aku sedikit berbuat curang dengan galah bambu yang kusambungkan tali disimpul mati.
Masihkah kau mengingatnya?
Namun semuanya belumlah terkena.
Hingga kau tergelincir dan hampir terjatuh tak kuasa meraihnya.
Masihkah kau mengingatnya?
Oh, janji itu kini masih melayang layangan diantara handphone kita...
Handphone yang siang itu hanya aku getarkan, takut mengganggu keintiman pembicaraan.
Namun ternyata tetap kuangkat juga, karena kamu terus saja memanggilnya.
Tadinya aku pikir hanya sekedar menyapa biasa, hingga akhirnya tersimpul janji diantara kita.
Masihkah kau mengingatnya?
Harus kau mengingatnya, paling tidak ; pesta rakyat momentumnya...
Jika mungkin khawatir akan terlupa, baiklah aku kirimkan pesan singkat saja ke nomermu.
Sehingga bisa kau baca kapan saja, dimana saja.
Bahwa kita pernah berjanji.
Janji yang tersambung diantara handphone kita, siang itu.
(Jakarta 2009, siang didepan Menara Masjid Al-Hikmah)
Menjalin kasih berbeda saat menonton sinetron.
Disini selalu ada perubahan, tiada pernah monoton.
Menjalin kasih, berbeda ketika menyeruput cappucino dimalam hari.
Kasih tak akan habis, menyisa dibibir cangkir.
Menjalin kasih berbeda rupa menatap sunset menjelang sore.
Kasih tetap saja semburat, tak akan tenggelam.
Menjalin kasih juga bukan sama menyantap Pizza dengan lahapnya.
Kasih tak suka terburu, berjalan hening tertahap.
Oh kasih...masihkah kau ditempat itu?
Bersemayam diantara lilin dan vas bunga.
Basah terciprat semprotan parfum dari Paris.
Rasa nervous saat saling menatap didepan menu siap santap.
Atau nyayian syahdu dari rindu yang menggebu.
Kabarkanlah, kabarkan bahwa kau tak hanya sekedar datang untuk mampir sejenak.
Namun juga mewujud, menemani jiwa yang ganjil.
Sampai kelak, sampai waktu yang mutlak.
Saat tiada jarak, yang selalu memaksa menawarkan berkali-kali cawan berisikan arak.
(Jakarta. Ramadhan 16, 1430 H)
Disini selalu ada perubahan, tiada pernah monoton.
Menjalin kasih, berbeda ketika menyeruput cappucino dimalam hari.
Kasih tak akan habis, menyisa dibibir cangkir.
Menjalin kasih berbeda rupa menatap sunset menjelang sore.
Kasih tetap saja semburat, tak akan tenggelam.
Menjalin kasih juga bukan sama menyantap Pizza dengan lahapnya.
Kasih tak suka terburu, berjalan hening tertahap.
Oh kasih...masihkah kau ditempat itu?
Bersemayam diantara lilin dan vas bunga.
Basah terciprat semprotan parfum dari Paris.
Rasa nervous saat saling menatap didepan menu siap santap.
Atau nyayian syahdu dari rindu yang menggebu.
Kabarkanlah, kabarkan bahwa kau tak hanya sekedar datang untuk mampir sejenak.
Namun juga mewujud, menemani jiwa yang ganjil.
Sampai kelak, sampai waktu yang mutlak.
Saat tiada jarak, yang selalu memaksa menawarkan berkali-kali cawan berisikan arak.
(Jakarta. Ramadhan 16, 1430 H)
Menyalakan lampu pojok meremangi gelap kamarku.
Kamar yang penuh dengan gambar, juga bendera yang tak terkibar.
Kamar itu semestinya tak sendiri. Lagi.
Kehidupkan musik pada sebuah radio tape model lawas, sekedar mengusir hawa sunyi, tentunya.
Tepatnya berharap dapat menghibur. Ya, aku hampir lelah mencari hiburan yang telah lama hilang.
Ah...aku terbaring lagi pada dinding tubuhmu...
Untuk sekedar mengingat perjalanan seru ingatan-ingatan masa lalu. Bermain gurau, itu saja!
Hohoho...ternyata aku tak kuasa...
Sayangnya aku belumlah bisa...
Sampai kinipun aku selalu menyimpan tanya (?)
Dimanakah aktifitas nakal itu kini?
Seolah, menguap bagaikan asap saja...
(Jakarta, pada kamar langit hitam | 7/09/09)
Langganan:
Postingan (Atom)