Kawan, cerita kali ini masih serupa menyoal keeksotikan malam.
Malam kali ini akan aku tafsirkan sejatinya, bukan kiasan seperti sebelum-belumnya.
Malam yang masih sepi, sunyi dan dingin.
Kenapa akhir-akhir ini aku gemar menulis malam?
Bukankah ini hal yang lumrah? Tak ada yang istimewa.
Setiap insan mengenal dan selalu melaluinya. Semua telah sepakat, walau tak pernah ada jejak pendapat seperti sebelum pelepasan Timor Timur jaman BJ Habibie dulu ; malam tak lain ialah pergantian waktu dari pagi, siang dan selanjutnya malam itu sendiri.
Dimana letak keeksotisannya?
Mungkin pertanyaan itu yang berteriak-teriak dibenak kawan semua.
Okey, ayo kita bedah bersama-sama.
Setelah direnungkan lebih jauh, malam yang gelap itu seakan mewujud menjadi cermin, lho.
Yups, tepatnya sebuah benggala kehidupan. Semoga saja saya tidak melebih-lebihkan istilah ini.
Mengapa malam disebut sebagai sebuah cermin?
Bukankan sangat berbeda?
Begini kawan,
bukankah dari cermin, kita akan mengetahui kondisi raga kita?
Jika besok Senin, kau dipanggil atasanmu untuk menghadap, tentu kau akan bersolek parlente didepan sebuah cermin. Membolak-balikkan badan kekiri dan kekanan. Berputar-putar bak permainan gangsing.
Merapikan kemejamu. Membenahi kerahnya atau memastikan kalau pangkal kemeja telah dimasukkan kedalam celana kainmu dengan baik.
Ya, dari cermin kita akan berubah lalu berbeda....
Kembali ke malam.
Malam ternyata juga mempunyai sifat yang sama seperti cermin ; merubah!
Saat hening tak bergeming,
saat sepi menjadi saksi,
saat senyap dan sunyi lepas dari adegan segala bentuk bunyi, muncullah perenungan akan kontemplasi hidup dari malam.
Kita seperti dihadapkan cermin raksasa atau benggala yang akan 'memperlihatkan' tingkah kita.
Malam mengantarkan kita pada perenungan, tanpa pernah menjemputnya kembali. Mengajak kita untuk merefleksi makna kehidupan yang hampir kita lupakan. Namun malam tetap menolak lupa!
Lalu setelah kita tak tau jalan untuk pulang, malam tentu segera melelapkan kita.
Maka, dari situlah saya pribadi menyukai malam.
Malam yang (telah) merubah hidup ini dengan sukses.
Bagiku malam itu eksotis.
Bagimu?
Tentu aku tak tau...
Kasih tau dunk....he.
-dB-
Yogyakarta | 3 Desember 2009
Setiap matahari terbit dari timur, aku selalu menganggapnya musuh.
Karena aku pikir dia telah menyirnakan Malam yang kutunggu lama.
Sebaliknya, jika bulan hadir dan bintang mulai bermain, aku akan menghabiskannya dengan panjang.
Aku memang begini : selalu suka sunyi, tenang, dan dingin.
Seperti itulah perjalananku bersama Malam.
Malamku teruntai menjadi samudera kata. Dia membangun ruang imaji tersendiri. Dia jugalah yang mengenalkanku dengan segudang permasalahan disekelilingku.
Membongkarnya berkeping-keping dan merakitnya kembali.
Seperti kerasan, aku tak mau pulang dari Malam.
Sering kiranya aku 'diomelin' Malam agar segera pulang berselimut.
Mukanya memburam, membuat langit semakin gelap.
Kawan, Malam akan seperti itu jika sedang menasihatiku.
Bintang dan bulanpun memutuskan untuk sembunyi, itu pertanda Malam akan membadai.
Jika Malam tersinggung, maka bersiap-siaplah menghidupkan kipas angin atau memencet tombol on pada remote AC, sebab udara akan dipausenya dan keringatmu akan menderas. Kadang Malam juga senang bercanda dengan mendongengkan kisah-kisah horor kepadaku, tapi aku selalu tak takut. Karena aku pasti akan menyalakan lampu kamar tidurku dengan 10 wattnya. Cukup terang, bukan?
Suatu hari aku menceritakan Matahari kepadanya. Aku bilang kalu setiap siang dia selalu datang membagi terang. Tapi Malam diam saja. Itu pertanda Malam tak mengenalnya.
Wajahnya cemberut seperti cemburu mendengarnya. Mengartikan bahwa Malam tak mau ada dualisme perhatian. Aku bisa memahami itu. Kami saling menjaga perasaan...
Jika Malam sedang penat, dia akan mengajakku bergadang menonton big match pertandingan bola antara Inter Milan vs Real Madrid yang bermain imbang dengan skor 2-2.
Namun jika Malam sedang murung, dia selalu merequest lagu yang kunyanyikan bersama gitar bolong warna hitam polos.
Asal tau saja kawan, lagu yang dia pilih selalu bergenre Melayu. Lagu yang mendayu-dayu...
Dan selalu begitu, aku selalu tak tau apa mau dan inginnya. Tak bisa ditebak. Keinginannya mendadak berubah, seperti kunci gitar yang kupetik : dari C ke D lalu ke Am.
-dB-
Yogyakarta | 2 Desember 2009
Udara begitu sunyi, mirip ketika murid dibentak guru ketika membuat gaduh kelas atau ceriwis sendiri saat diterangkan.
Ruangan menjadi hening. Bahkan menadahkan wajah kedepan saja tak berani.
Benar-benar seperti itulah setting lokasi rumah, kini.
Kini, aku sendiri bersama tumpukan masa kecil yang diabadikan fotografer amatiran.
Bahkan sangat amatiran! Sekali lagi ah ; amatiran.
Perlu saya tegaskan karena gambar di foto itu sungguh tak menampilkan keadaan yang sesungguhnya. Beda. Pokoknya tak mirip, deh.
Bukan maksud hendak mencela sipemfoto tersebut, mungkin juka karena kamera poket saat itu memang belum canggih seperti sekarang.
Kamara digital belumlah lahir, kalau sudahpun kami belum tentu bisa mendapatinya.
Kamera dulu sangat manual, belum menggunakan memory card yang kalau hasilnya kurang memuaskan bisa didelete. Apalagi dengan resolusi sampai 10.1 megapixel sehingga sanagat mempertajam objek pemotretan.
Ya, saat itu belum 'ada' kamera digital batrey charger yang praktis.
Namun album foto itu tetap aku simpan baik-baik —walau warna dan rupa tak sepenuhnya diwakilinya. Album tua itu menghantarku dengan pesawat jet atau bahkan kereta peluru bawah tanah ketempat dimana aku menghabiskan masa kecil dulu.
Kendaraan tadi begitu cepat, begitu singkat menghadirkan suasana rinduku akan kasih sayang umat manusia yang ada disekitarku.
Berhamburan bukti nyata dalam foto itu. Ekspresi wajahkupun terlihat selalu riang, senang dan juga girang.
Aku merindukan itu. Aku ingin 'mengembalikan' kasih sayang itu pada mereka. Aku sangat mengebu ingin membalas cinta meraka. Aku ingin berterima kasih juga atas nama kasih sayang!
Aku sesungukan. Air mataku meleleh melihat ketulusan mata mereka. Senyum yang sangat alami. Hati yang selalu dibungkus kesederhanaan. Raga yang kurus, wajah yang tirus, rambut yang tak lurus (walau sekarang jauh berbeda, mungkin karena faktor ekonimi). Ya, kami tergolong ekonomi menengah kebawah yang paling bahagia saat itu.
Akhirnya, sambil kubiarkan derasnya mata air air mataku menghujami bumi, dengan dada yang sesak dan perasaan yang dihimpit rindu, aku mengado do'a untuk kekekalan kebahagiaan meraka. Sebesar seperti kebahagiaan yang telah mereka berikan untukku. Sama persis. Tanpa kurang sedikitpun. Itu saja.
(Bingkisan do'a teruntuk yang mencintai aku tanpa mengharap dicintai | Yogyakarta, 1 Desember 2009
Langganan:
Postingan (Atom)