Kamis, 03 Februari 2011 0 komentar

Bila Rindu Ingin Mengadu


Bagaimana bila aku rindu namun engkau telah tiada?

Tentu aku akan sulit mencari.

Bagaimana bila ingin kutunjukkan rasa bahagia ini, tapi engkau telah tak dapat merasa?

Betapa hilangnya jiwa ini.

: Hai sukma, tinggallah sejenak diraga kami.

Kami masih ingin mencinta, walau takharus dengan mencium.

Karena rindu yang tertuntaskan saat melihat dia baik-baik saja, bisa jadi lebih dari ciuman itu sendiri.

Bersama mengkhawatirkan saat petir ternyata ganas menyambar,menganggap tak layak menghabiskan tawa saat tak ada kehadiran yang lainnya, ataukah sendiri menyimpan duka sehingga tak kau beri air mata padaku (padamu), lalu rebah menyembunyikan isak tangis.

.....ah, sesungguhnya ayah juga sahabat, ibu juga dan engkaupun yang membaca juga sama saja.



Adji Nugroho (dB)

Jogja, 10 Agustus 2010

0 komentar

Hay, kau kira cinta itu apa?!


Hay, kau kira cinta itu apa?
Setelah dalam perjuangan menaklukkannya: berkepayahan merangkai puisi, berdarah-darah belajar gitar untuk dinyanyikan dihadapannya, bersolek menata rambut yang melanggar kodrat—disisir belah tengah, padahal dari kecil, Ibunya membiasakan menyisir ke kanan, menghadiahi setangkai bunga mawar hasil curian tanaman tetangga saat ulang tahunnya atau membelikannya coklat merk dagang 'ngutang' kawan, atau segala tindakan keromantisan yang justru memuakkan. Toh, akhirnya kau mendapatkannya.
Ku tahu perasaanmu tak sedahsyat saat proses mendekatinya dulu—anak muda sering menyebutnya pdkt. Yang membuatnya tak bisa tidur karena rayuan via sms atau bahkan obrolan dalam hpmu - hpnya yang berdering hampir tiap malam.
Lalu setelah kau berhasil mendapatkannya, kupikir dia hanya jadi pelengkap bara nafsumu; kau rangkuli, kau peluki, kau cumbui bahkan kau tiduri berkali-kali.
Tak ada lagi puisi, lagu, mawar ataupun coklat seperti dulu.
Tak ada pula sikap ksatria disana.
Lalu waktu menjenuhkanmu, lagi-lagi kau ingin ganti.
Hay, kau kira cinta itu apa!




Kang Ajik
Jogja, 20 Juli 2010
0 komentar

Usia Usai


Saat usia usai: langkah bahkan terus berjalan. Bukan terhenti seperti saat turunnya palang rambu-rambu pertanda kereta api sedang melaju.
Bukan! Langkah akan terus mencari titik terang dari pekatnya kubur, kawan.
Lalu dengarlah ruh yang bergemuruh mengeluh sedih karena jalannya tersesat.
Lihatlah...tubuhnya gontai, lunglai tersayat pedih.

Dan kau masih berjalan bersiul menepis ketakutan yang menggigil, keringatmu menderas, gigimu bergemelutuk, pandanganmu tak fokus, jiwamu bergetar padahal tak pernah ada yang mengertak, kawan!
Sampai nafasmu tercengang: "Hah!, itu bukankah temanku?"
*te.man.ku—jiwa pada diri lain yang selalu bersama, bahkan kadang lebih diperhatikan agar sejati.

Lalu kau hanya diam, karena kau tau: sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menolongnya.
Ya...pekerjaan yang sering kau usahakan untuknya, saat usia masih setia dulu.

Manusia kini merapat untuk kembali
Namun jiwa ini melayang jauh meninggi
Manusia nanti terdiam karna tersadar
Terbayang langkahnya, harinya telah berlalu



Usia telah usai...
Usaha tiada guna...


Kang Ajik
Jogja, 12-Jun-10
0 komentar

Malam Yang Risau


Risau yang sedang terjadi, mungkin juga dirimu
Bingung mendefinisikan eksistensi diri, seperti anak burung hantu yang belum layak terbang malam ini...
Padahal cuaca terus berubah dan kehidupan tak pernah ada yang sama
Malam sepertinya mengerti, namun berlagak acuh tak acuh

Risau. Ya, seperti Ibu yang tak bisa tenang; anak gadisnya belum juga pulang, malam ini...
Sebuah pertanyaan besar telah membuat malam ini semakin jauh
Walau nyayian terus didendangkan dan penari tak pernah lelah menghibur: hati tetap saja terasa hilang
Yang ada hanya seorang lelaki yang ditinggal semburat diantara gelap

Risau ini layaknya tali yang mengikat perasaan terlalu erat
Udara membawa kenangan indah yang pernah ada
Kemana dia (?)
Ah, seolah tak pernah rela untuk melewatinya…



dB alias Adji Nugroho
Jogja, 06 Juni 2010
0 komentar

Coretan Dalam Skripsi (Memory in 2008)

Entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Sebenarnya coretan ini tidak boleh dicantumkan dalam skripsi—tidak ilmiah, kata salah satu Dosen. Namun, saya adalah saya dengan segudang kecuekan dan kenekatan (bahasa yang 'wajar' digunakan anak seumuran antara 15-25 tahun, wkewkewke...).

Berikut coretan dalam halaman motto skripsi itu:


HALAMAN MOTTO




  • Hanya dengan mengingat Kebesaran Allah SWT dan menyontoh Keteladanan Nabi Muhammad Saw, kehidupan akan terlihat indah.





  • Sebuah do’a dari orang tua, kerabat dan sahabat mampu merubah sumuanya.





  • Setiap manusia mampu bermimpi tetapi tidak semua manusia mampu mewujudkan impiannya. Mimpi yang tak pernah terwujud hanya akan membebani hidup, karena sebenarnya kita mengerti tentang kebaikan hidup kita. Maka raihlah semua mimpi-mimpimu itu.





  • Bila kamu percaya bahwa hidup ini mudah, jalani kehidupan ini tanpa beban dan penuh dengan kegembiraan.


  • :D



    Adji Nugroho (kang Ajik)
    Jogja, 15 Mei 2010
    0 komentar

    Teriknya Hujan


    Setiap matahari sedang bersemangat menyengat, manusia selalu mengerutu meminta hujan kepada Tuhan
    Namun saat hujan turun dengan lebatnya, didalam rumahnya dia terus saja menghujat
    Seorang shaleh menyadari kondisi seperti itu lalu bermunajat: “Wahai pemilik bumi dan seisinya, kabulkanlah permintaan umat-Mu, karena sejatinya dia hanya mengharapkan yang tidak terlalu berlebihan dari-Mu”
    Maka benar saja, siang itu hujan turun perlahan-lahan bersama teriknya matahari
    Lalu sebagian manusia hanya berkata pada hatinya: “Kalau begini caranya, aku tak bisa menjemur pakaian-pakaianku yang masih basah, dunk…”
    Sedangkan sebagian yang lain berkata: “Celaka aku!! Sawah ladangku pasti akan kekeringan, jika air hujan tak cukup curahnya”

    “Hohoho, manusia selalu saja bingung dan membingungkan…”, Suara itu entah dari mana datangnya…(?)



    AdjiNugroho (si dB)
    Yogyakarta, 24 April 2010
    0 komentar

    Hay kawan, otakku mulai bero(n)tak!


    Hay kawan, otakku mulai bero(n)tak!

    …Ungkapan apa itu? Bahasanya aneh, aku tak paham!
    Siapa pelempar bola panas kalimat itu?
    Kurasa pengidap gila akibat ketidaksanggupannya bersinergi dengan realitas.
    Imajinasinya hanya terbangun dalam tataran halusinasi.
    Impiannya dikebiri oleh raja-raja tirani yang berwajah merakyat.
    Sedang orang dekatnya selalu saja berpandangan kerdil atas apa yang dia abdikan.
    Bukankah ini sudah terlalu penuh untuk membuatnya menjadi benar-benar gila?!
    Tunggu-tunggu…jangan menyudutkan dia dulu; jangan-jangan itu adalah ungkapan tuntas yang sering terlintas dipikiran kita untuk sekedar menumpahkan kekesalan dikarenakan inspirasi yang kita harapkan tak juga datang mengetuk pintu jiwa?
    Lalu kenapa huruf n pada kalimat berontak harus dikasih tanda kurung segala?
    Seolah dia ingin mengecoh pembaca menjadi berotak.
    Sehingga akan tertafsir bahwa otak itu berotak --otaknya menjalar dan terbentuklah otak baru yang lainnya.
    Huh, dasar orang gila, buat apa kita pikirkan!!!

    ……setelah lebih dari seabad dari peristiwa itu, kini orang-orang yang jenuh, boring lalu mencurahkan perasaannya kepada kertas dengan menulis: Hay kawan, otakku mulai bero(n)tak!



    Adji Nugroho (dB)
    Yogyakarta, 18 April 2010
    0 komentar

    Penari malam di bawah bulan


    Wahai penari malam di bawah bulan…
    Kau putarkan tubuhmu selayaknya gasing yang hendak mendekati bulan
    Kau liukkan tanganmu, seolah-olah seperti ingin mengusap cantiknya paras bintang
    Oh malam, selimutilah penarimu…

    Wahai penari malam di bawah bulan…
    Ku melihat kasih sayangmu sebesar bumi seisinya
    Ku sadari pengabdianmu melebihi bulan pada malam itu sendiri
    Oh malam, sambutlah penarimu…

    Jika kayu dibumihanguskan oleh api,
    Jika perahu dihanyutkan dengan air,
    Jika pohon ditumbangkan bersama angin,
    Maka akan kukatakan bahwa tarianmu menghancurkan bala amara murka dunia

    Menarilah…menarilah berulang lagi…
    Ku masih menyimpan penasaran dari makna kehadiranku
    Kau belum memuaskan dahagaku akan kesyahduan kehidupan
    Yang masih kuanggap jahat, beringas, kejam dan mencekam!

    Menarilah…menarilah, bolehkah kau ajarkan kepadaku?
    Kulihat tarian itu begitu dekat, pesonanya mambuatku jatuh cinta seluas samudra
    Ajarilah aku, maka kelak jalanmu akan kutapaki
    Wahai penari malam di bawah bulan


    Adji Nugroho (dB)
    Yogyakarta, 14 Maret 2010
    0 komentar

    Rokokmu kau hisap, lalu asapnya kau muntahkan dihadapanku.

    Lewat hidungku, asap rokokmu merambat menuju otakku ; benar-benar seperti menabuhi genderang perang!

    Kaupun mulai bertanya : mengapa kau berhenti merokok?
    Aku lantas menjawab : aku bosan, aku ingin menghisap nuklir!

    Hahaha...
    Sama ketika kau mengomentari anak-anak yang bermain petasan waktu itu : ah, beraninya dilempar! Kalau berani dimut!!, sambil membuang putung rokokmu.


    -Adji Nugroho (dB)-
    Jogja, 31 Januari 2010
    0 komentar

    Improvisasi Nama


    Semisal buku, film, lagu dihadirkan tanpa judul, apakah kau tetap ingin membacanya, menontonnya atau mendengarkannya? Apakah kau masih ingin mengunjunginya di rak Perpustakaan, di bangku Bioskop atau ditoko-toko kaset kesayanganmu?

    Ya, giliran judul atau nama yang akan kita improve, sekarang. Akan kita jabarkan bersama. Akan kita bedah bareng-bareng. Akan kita telusuri ulang pemaknaannya ; sering kita sebut (memangil nama seseorang) namun kadang kabur, betapa berartinya itu.

    Bayangkan dunia tanpa judul. Tanpa nama. Mungkin akan seperti gadis perawan tanpa busana, hanya menuju kejahiliahan kembali, bukan? Mungkin saja.

    Tapi kau tetap saja tak mau mengenalkan nama pemberian Ibu dan Bapakmu itu, kepadaku.

    Siapa sih namamu?
    Mereka memanggilmu apa?
    Bagaimana aku menyebutmu?


    Plis dunk, ah!
    Tentu aku tak akan sembarangan memanggilmu, kan?

    Lalu jika aku panggil ‘Fulan’ seperti kisah-kisah pada jaman Salafi, apakah kau akan mencari sumber?
    Lalu jika aku sebut ‘Bunga’ seperti korban-korban pemerkosaan atau pencabulan yang tak mau identitasnya diketahui orang bayak, apakah kau akan memperhatikan dan siap diajak ngobrol ngalor-ngidul? Entahlah…

    Asal kau tau saja, aku tak pernah sepakat dengan kutipan William Shakespeare yang pernah sesumbar bahwa nama itu tidaklah penting (apakah arti sebuah nama?).
    Menurutku nama itu ibarat judul buku yang akan dengan menarik didisplay dirak strategis toko buku, ibarat judul film yang akan terpampang pada iklan 21 dan ibarat judul lagu yang akan direquest pendengar setianya diradio dan televisi.



    -Adji Nugroho (dB)-
    Jogja, 09 Januari 2010
    0 komentar

    Seseorang menciptakan seni kisah cintanya sendiri
















    Petikan Harpa mu telah mengenyahkan rasa hampa dirongga dada.
    Senarnya kau petik dengan jemari yang lentik dan bola mata yang kadang melirik...

    Gesekan Biola mu membingkis kado bahagia bagi si jiwa.
    Tubuhnya kau sandar dilingkar leher lalu kau mulai mabuk alunannya...

    Tiupan Clarinet mu melarungkan rasa penat, jauh dari cahaya yang terlalu menyengat.
    Dia kau tiup, lalu menghembuskan ketenangan diatas rata-rata...

    Oh, mohon sekali lagi mainkanlah.
    Mainkan...mainkan musik klasikmu...

    Yang melantun sedetik demi sedetik berdetak di jarum jam dinding jiwaku.

    Yang turun serintik demi serintik di hujan gelora darahku.

    Yang terkumpul sedikit demi sedikit di sela-sela rak-rak jantung hatiku.

    Nada-nada yang terstem,
    membawa sepoi,
    membuai,
    lalu kuucap aduhai....



    -Adji Nugroho (dB)-
    Yogyakarta, 2 Januari 2010
    0 komentar

    Bahasa mencari jejak (tak ada bahasa yang vulgar)

















    Aku akan menjelma menjadi puisi
    : Jika kata hendak dirangkai dalam bingkai intonasi dan ekspresi pembebas belenggu diri.

    Aku akan mewujud menjadi lagu
    : Jika nyanyian dapat melepas simpulan mati, tali pengikat penat.

    Aku akan menjadi film
    : Jika bosan memburu tanpa ampun dan jenuh bertengger memenuhi isi kepala.

    Aku akan berubah menjadi lukisan
    : Jika sketsa mengingatkan kenangan, sekaligus mengembalikan gambaran akan sebuah harmoni kehidupan.

    Bukalah hatimu...
    Bukalah seperti hendak membaca buku ;
    selembar demi selembar, halaman demi halaman menelusur ke sebuah materi puisi, lagu, film dan lukisan yang mengukir bentuk eksistensimu.



    Adji Nugroho (dB)
    Jogja, 27 Desember 2009
    0 komentar

    Saya dan Anda | Ketika ditanya : Hai anak Adam, apa saja yang kau lakukan selama hidup?















    Bila waktu tak kunjung tiba
    Saya akan pulang berbekal bangga
    Telah mengoreskan cita bersama Anda
    Meskipun semua masih rencana


    Bila waktu tak kunjung tiba
    Ingatlah saya dengan cerita
    Seorang pembiasa yang tak pernah terima
    Raut sedih diwajah Anda


    Bila waktu tak kunjung tiba
    Tenangkan saya bersama do'a
    Saya dan Anda tak luput dosa
    Semasa masih tinggal didunia


    Bila waktu tak kunjung tiba
    Ya sudahlah, terima saja takdir yang ada
    Bahwa larangan terhindar sekuatnya
    Sedang perintah, sebagian sudah terlaksana


    Adji Nugroho
    Jogja, 18 Desember 2009

    (Jangan takut, dunk! Ini kan cuma puisi. Puisi percobaan make stile sentuhan bahasa yang baku, hehe)
    0 komentar

    Gitar-gitar cinta menerjemahkan getar-getar hati

    SEPERTI BERMAIN GITAR
    aku ingin mengenalmu secara otodidak ;
    tanpa guru, tanpa perintah yang susah aku mengerti

    SEPERTI BERMAIN GITAR
    aku ingin memetikmu ;
    sekedar menghidupkan ruang-ruang sunyi tanpa bunyi









    SEPERTI BERMAIN GITAR
    aku ingin menghabiskan setiap langkah waktuku ;
    memelukmu lebih dekat, lekat dan semakin erat

    SEPERTI BERMAIN GITAR
    aku ingin menyanyikan getaran hati ;
    mengungkapkan bahasa-bahasa yang tak pernah ada dalam mata pelajaran


    Adji Nugroho (dB)
    Yogyakarta, 15 Desember 2009
    0 komentar

    Logika atau lo gila


    Logikaku seperti tertabrak motor dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ia lalu terpental jauh, jatuh berguling-guling bahkan terpelosok dibawah jurang. Tapi aneh, sungguh aneh. Tubuh logikaku masih utuh. Tidak ada luka berat, bahkan lecet sedikitpun (ntah, kenapa?? ). Tubuh logikaku masih bisa berdiri dengan tegaknya, seolah tak pernah terjadi peristiwa mengerikan tersebut.

    Ia lalu membersihkan bajunya dari debu yang mengotorinya. Debu dan sampah dedaunan tepatnya. Sambil masih terheran, ia melihat bagian tubuhnya satu persatu. Dan benar ; tak ada masalah. Ia baik-baik saja. Ia lalu tersenyum, seolah dialah yang paling sakti diantara logika-logika yang lain.
    Mungkin motor yang menabrak logikaku tadi sejenis moge (motor gede) atau memang motor yang dipersiapkan untuk balapan liar (bali) dini hari. Ia (logikaku) juga tidak terlalu jelas melihatnya. Begitu cepat, begitu singkat.

    Mungkin jika dimintai laporan di Kantor Polisi, jawaban-jawaban logikaku tadi dianggap lemah dan tidak jelas. Susah untuk menemukan pelakunya. Sangat mungkin, logikaku hanya bisa bercerita seperti ini : “ Dini hari itu (Minggu, 22 November 2009), saya yang sedang gundah hatinya memilih untuk keluar rumah sekedar mencari angin liar. Ntah kenapa jalan yang telah lama saya telusuri itu belum juga mampu menghilangkan murung dan perasaan campur-aduk dalam hatiku. Lalu saya niatkan untuk menyusuri jalan yang lebih panjang lagi. Semakin panjang dan sangat panjang! Sampai tak ku sadari bahwa jalanan semakin lengang dan senyap tanpa sahut-sahutan lampu motor yang biasa ada di jalan. Saat itu jalanan menjadi sangat hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Dan situasi seperti itu semakin membuat dingin kulit tubuhku.

    Saya akui bahwa malam itu, saya berjalan dengan melamun ; tak fokus melihat jalan. Kadang sedikit terpeleset pasir atau tersandung kerikil jalanan. Ya tersebab itu tadi, saya tak fokus melihat jalan.
    Lalu seketika, saya mendengar suara motor dari arah kiri yang berbelok kearah kanan dengan kilatnya. Cepat. Singkat. Tanpa memberikan jeda atau menghelai nafas.

    Lalu berhadapanlah kami satu sama lain. Saya sempat marah karena ketidaksopanannya mengendarai motor. Tapi sepertinya dia tak menggubris ekspresi ketidaksukaanku padanya. Ia semakin saja mengeber tuas gas. Saya tak tahu apa maksud sipengendara motor itu. Ia semakin menyencangkan laju motornya ke arahku. GUBRAAAAK!!!!....terjadilah peristiwa itu, Pak Polisi”


    Nb : Anda tidak akan pernah salah seperti keliru menghitung angka-angka dalam soal matematika atau menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu guru yang belum Anda pelajari malam sebelumnya, jika menganggapku GILA! :)



    Jogja, 28 November 2009
     
    ;