Kamis, 26 November 2009 0 komentar

RIKAKU ; Rindu Kawanku


Aku selalu kebingungan ketika iseng menerka-nerka siapa sebenarnya sosok dirimu.
Sungguh kehadiranmu seperti menyiramkan tanah gersang jiwaku dengan air murni dari pegunungan,
memaksimalkan volume im3 kesukaanku dengan speaker yang menghentakkan dadaku, dengan maksud meramaikan kesepianku,
memutarkan dvd film box office ketika aku jenuh dengan isi kepala yang hampir penuh.

Jujur nih, kebersamaanmu selalu saja menggenapkan jiwa yang ganjil,
menambal dinding hati yang keropos,
atau mungkin juga mengecat ulang warna ruhku yang telah usang.

Mengenalmu serupa bertambah satu lagi saudara kandungku.
Aku tak bisa menunda pemberian bingkisan rasa bahagiaku kepadamu.
Sehingga aku sering kesulitan memahami arti persahabatan.
Karena jika diurut-urut lagi,
persahabatan yang sajati itu bagaikan hubungan kakak beradik yang tak pernah bertikai —membackup kekurangan.

Hey, persahabatan yang sajati itu bagaikan hubungan kakak beradik yang tak pernah bertikai....?
Iya!, kali ini aku serius.

Apakah kau (ke)bingung(an) dengan statmenku ini?
Oh, coba kau terka sekali lagi ; persahabatan yang sajati itu bagaikan hubungan kakak beradik yang tak pernah bertikai,
bukankah ini sesuatu yang tenang jika didengar,
syahdu jika dilihat dan
merdu jika diucap.

Jika kau menganggukkan kepala tanpa aku suruh, itu pertanda kau sepakat :
persahabatan yang sajati itu bagaikan hubungan kakak beradik yang tak pernah bertikai.

Kawan, terima kasih.
Kau begitu nyata menata puzzle hidupku ini...



(Untuk yang (juga) sering kesulitan memahami arti persahabatan | Yogyakarta, 26 Noember 2009)
0 komentar

Sepeda Hijau


Aku masih ingat betapa cintanya kau padaku.
Saat itu, ketika kita masih belum jago bertransportasi mesin, kau kayuhkan sepeda untukku.
Ya, tenagaku memang tak seperti ragaku, sampai banyak orang yang terheran.
Tapi tak apalah, biar apa kata dunia.
Kita tetap saja melaju, walau kadang kaki kecilmu tak kuasa lagi menghempasnya.
Tapi kau selalu saja berusaha. Aku suka itu...
Aku lihat semua, namun aku pura-pura bersikap biasa —aku diam saja.
Itulah kau, saudara kecilku.

Kini kau telah dewasa. Telah mengenal dunia.
Bisa melihat warna tanpa intervensi orang lain. Tanpa celah. Tanpa sekat.
Mengantongi ilmu yang kau citakan sejak lama.
Lalu apa langkahanmu kedepan, saudaraku?

Pahami agama yang telah dikenalkan orang tua kita. Hanya itu pesanku.
Sebab kita tidak akan tau calon peristiwa dimuka, nantinya.
Kita akan selalu digulung ombak kewajiban, dihempas badai aturan dan terus disengat terik tanggungjawab. Terus dan terus!
Itulah zig-zag alur perjalanan panjang kehidupan ini.
Perjalanan yang tak sesimetris ketika kau menggambar sketsa tugas dari dosenmu kini.

Tentu kau telah mengerti, bukan?
Ya, aku hanya berusaha mendiskon ilmu 'tua'ku padamu.
Kenapa tidak kugratiskan saja? Ah, aku hanya ingin kau menaklukkannya sendiri.
Sehingga akupun akan sangat bangga padamu.
Mungkin sebangga ketika kau kayuhkan sepeda hijau stang jengki untukku kala itu, saudaraku.




(NB : Sepeda hijau itu telah dicat ulang menjadi hitam dop dengan kondisi yang tidak layak pakai | Yogyakarta 26 Noember 2009, Pukul 01.00 dini hari)
 
;