Kamis, 26 November 2009
Sepeda Hijau
Aku masih ingat betapa cintanya kau padaku.
Saat itu, ketika kita masih belum jago bertransportasi mesin, kau kayuhkan sepeda untukku.
Ya, tenagaku memang tak seperti ragaku, sampai banyak orang yang terheran.
Tapi tak apalah, biar apa kata dunia.
Kita tetap saja melaju, walau kadang kaki kecilmu tak kuasa lagi menghempasnya.
Tapi kau selalu saja berusaha. Aku suka itu...
Aku lihat semua, namun aku pura-pura bersikap biasa —aku diam saja.
Itulah kau, saudara kecilku.
Kini kau telah dewasa. Telah mengenal dunia.
Bisa melihat warna tanpa intervensi orang lain. Tanpa celah. Tanpa sekat.
Mengantongi ilmu yang kau citakan sejak lama.
Lalu apa langkahanmu kedepan, saudaraku?
Pahami agama yang telah dikenalkan orang tua kita. Hanya itu pesanku.
Sebab kita tidak akan tau calon peristiwa dimuka, nantinya.
Kita akan selalu digulung ombak kewajiban, dihempas badai aturan dan terus disengat terik tanggungjawab. Terus dan terus!
Itulah zig-zag alur perjalanan panjang kehidupan ini.
Perjalanan yang tak sesimetris ketika kau menggambar sketsa tugas dari dosenmu kini.
Tentu kau telah mengerti, bukan?
Ya, aku hanya berusaha mendiskon ilmu 'tua'ku padamu.
Kenapa tidak kugratiskan saja? Ah, aku hanya ingin kau menaklukkannya sendiri.
Sehingga akupun akan sangat bangga padamu.
Mungkin sebangga ketika kau kayuhkan sepeda hijau stang jengki untukku kala itu, saudaraku.
(NB : Sepeda hijau itu telah dicat ulang menjadi hitam dop dengan kondisi yang tidak layak pakai | Yogyakarta 26 Noember 2009, Pukul 01.00 dini hari)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar