Sepi...
aku ingin menyibak tirai syahdumu,
mengintip pesona senyum perempuan lugu, lewat jendela kayu tinggi rumah gundahku.
Penuhnya ruang jiwa dengan segala rasa hampa dalam hidup, bosan juga dijalani setiap manusia.
Aku harap kamu tak lekas sadar, ketika aku menjelma menjadi sebuah alat pengintai —radar, mematamataimu, dengan detail kekaguman yang tumbuh subur padamu.
Lalu getar! Tiba-tiba aku menjadi sangat ketakutan dan malu atas tindakan pengecutku ini.
Ah, ternyata aku mulai suka kamu...
***
Ini memang memalukan. Sebagai seorang laki-laki, ini sungguh T.E.R.L.A.L.U!
Namun, bukankah aku telah berani mengakui kalau aku suka kamu?
Belum cukup, ya? Belum??
Hemm...lain kali akan aku coba yang lebih 'laki-laki' lagi, deh!; menyapamu dengan "Assalamu'alaikum", mungkin,
mengajakmu beli buku baru, mungkin,
mentraktirmu makan bakso, mungkin,
nonton film di bioskop, mungkin,
atau cuma pulang bareng dari tempat kerjamu?
Ih.., kok cuma mungkin, beneran, doong!
Apa? Tolong, katakan sekali lagi, tadi aku kurang jelas mendengarnya: kamu mau aku melakukan semua itu??
Waw, aku sungguh bahagia!
***
Lalu, lama-lama aku mulai risih dan gusar dengan sikapku yang kekanak-kanan ini. Aku mulai memberanikan diri mengungkapkan rasa cinta itu...
Singkat cerita, gayungpun bersambut —walau sesungguhnya aku hampir putus asa menaklukkan hati perempuan lugu itu— kitapun berdua resmi menjadi pasangan kekasih, menikah dan harapan-harapan indah seolah akan segera terjadi.
Telah tertancap pada hati kami, kelak bisa menjalani hidup bersama keramaian anak-anak dan banyak cucu yang lucu-lucu.
Namun harapan, hanyalah sebuah sesuatu yang belum pasti.
Sampai akhirnya, waktu mencabik-cabik cerita cinta kita yang terbangun dari kesetiaan dan impian menarik setiap manusia.
Kaupun tak kuasa menahan kanker otak yang telah lama akrab denganmu.
Kata Dokter Spesialis disana, penyakitmu itu telah akut,
dan aku merasa sangat menyesal-marah-jengkel tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk membesarkan jiwamu: melanjutkan hidupmu —mewujudkan harapan-harapan indah saat pernikahan kita dulu.
Lalu, dengan sedikit memaksa, tiba-tiba kau ingin dipeluk erat di ICU rumah sakit itu,
membasahi bahuku dengan linangan air mata dan isak sesak tangismu, tangis kita, tangis keluarga dan siapa saja yang melihatnya.
Seolah ingin mengatakan sesuatu,
sampai akhirnya kau benar-benar menghela nafas panjangmu.
Aku rindu kamu, sayang...
***
Gila!! Ya, aku memang tergila-gila pada memori settingan cerita Tuhan, kala itu.
Kini kau telah tiada, mana bisa kita mengulanginya lagi?
Apa aku harus mengutuk kondisi saat ini?
Oh, tentu tidak. Aku harus terus belajar berdamai dengan kenyataan, bukan?!
Aku hanya ingin me-reborn rasa itu saja.
Saat ini aku benar-benar merindukan kamu, sayang!
***
Aku coba membuka jendela itu lagi,
berharap terjadi hal yang sama seperti dulu,
: tapi,
kamu,
tetap,
saja,
tak,
ada...
Jogja, 14 Jan 2011
gambar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar