Sabtu, 19 Desember 2009 0 komentar

Jahil(iyah)


Kadang-kandang aku ingin mendapatimu sesengukan dikamar, karena ketiadaanku ketika kau sendirian saja...
Suatu saat aku ingin melihatmu meringkuk dalam kamar, resah memikirkanku yang belum juga pulang...
Kapan-kapan aku ingin membuat jantungmu berdetak tak stabil, karena menebak-nebak bingkisan apa yang akan aku bawa.
Hoho, dalam waktu yang tak terduga, entah kapan, aku ingin mendengarmu menjerit tinggi kegirangan dengan nafas yang terengah-engah dan tingkah yang terkesan aneh.


-dB-
19 Desember 2009
Kamis, 17 Desember 2009 0 komentar

Bawah Sadarku Atasmu

Jika aku tiba-tiba merindui ekspresi wajahmu saat ngambek karena aku lupa membawakan permen coklat kesukaanmu,
akan kutatap rerumputan disamping rumahku.
Ekspresi itu seakan tumbuh dengan liarnya dipikiranku,
menjalar kesetiap sudutnya, membawaku ke kondisi alpha...
Kau ngambek, tapi masih mau memboncengku pulang.

Jika aku sontak kangen tingkah polah manja kekanak-kanakanmu karena kugoda model poni rambut barumu,
akan kuhitung jumlah rasi bintang yang beredar sekitar jam 20.10 wib.
Tingkah polah manja kekanak-kanakanmu mengerlipkan kamar setiap lampu tidur kumatikan,
kau semakin menjadi jika kurapikan ponimu yang tersapu laju angin, mengacaukan sistem detak jantingku...
Kau manja, kamu emang manja sekali.

Tapi disaat kau membuatku bete lantaran jengkel harus menunggumu kelamaan dandan karena bingung memilih baju dan asesoris yang pas dipakai jalan sekedar keliling kota saja;
AKU AKAN MENGINGAT RUMPUT DAN BINTANG SEBAGAI BEL PENGINGAT EKSPRESI DAN TINGKAH POLAH MANJAMU YANG SELALU KURINDU DAN KUKANGENIN.

Bel itu akan berbunyi mengingatkan, seperti waktu istirahat sekolah dulu.
Berbarengan dengan itu, terbitlah peresaan terang benderang dan mengenyahkan rasa bt dan jengkel yang sempat bersemayam atasmu.

-dB-
0 komentar

Keberadaanku


Keberadaanku menerjemahkan sandi-sandi yang tak kau mengerti.
Padahal sandi-sandi itulah yang membongkar misteri kebahagiaan yang hakiki.
Kau berkeras menerjemahkan sendiri, namun jalan kuldesak selalu mendesakmu.

Keberadaanku mengartikan bahasa-bahasa yang tak kau pahami.
Padahal bahasa-bahasa itulah yang melepasmu dari belenggu kepayahan.
Kau terus memaksa mengartikannya sendiri, namun gang buntu yang terus kau tuju.

Aku terangkai dari sandi-sandi yang rumit.
Akupun tersusun dari bahasa-bahasa yang sulit.

Walau begitu, tak ada sandi yang terangkai tanpa petualang.
Dan tak ada bahasa yang tersusun tanpa komunikasi.

Berbahagia dan bebaskanlah hidupmu.
Rupanya sandi dan bahasa tadi telah bersedia mengantarmu sampai tujuan.

Apalagi yang kau pikirkan?
Cepatlah mengangguk, karena keberadaanku tak lama disini.

-dB-
Kamis, 03 Desember 2009 2 komentar

Eksotis Eksis


Kawan, cerita kali ini masih serupa menyoal keeksotikan malam.
Malam kali ini akan aku tafsirkan sejatinya, bukan kiasan seperti sebelum-belumnya.
Malam yang masih sepi, sunyi dan dingin.

Kenapa akhir-akhir ini aku gemar menulis malam?
Bukankah ini hal yang lumrah? Tak ada yang istimewa.
Setiap insan mengenal dan selalu melaluinya. Semua telah sepakat, walau tak pernah ada jejak pendapat seperti sebelum pelepasan Timor Timur jaman BJ Habibie dulu ; malam tak lain ialah pergantian waktu dari pagi, siang dan selanjutnya malam itu sendiri.
Dimana letak keeksotisannya?

Mungkin pertanyaan itu yang berteriak-teriak dibenak kawan semua.
Okey, ayo kita bedah bersama-sama.

Setelah direnungkan lebih jauh, malam yang gelap itu seakan mewujud menjadi cermin, lho.
Yups, tepatnya sebuah benggala kehidupan. Semoga saja saya tidak melebih-lebihkan istilah ini.

Mengapa malam disebut sebagai sebuah cermin?
Bukankan sangat berbeda?
Begini kawan,
bukankah dari cermin, kita akan mengetahui kondisi raga kita?

Jika besok Senin, kau dipanggil atasanmu untuk menghadap, tentu kau akan bersolek parlente didepan sebuah cermin. Membolak-balikkan badan kekiri dan kekanan. Berputar-putar bak permainan gangsing.
Merapikan kemejamu. Membenahi kerahnya atau memastikan kalau pangkal kemeja telah dimasukkan kedalam celana kainmu dengan baik.
Ya, dari cermin kita akan berubah lalu berbeda....

Kembali ke malam.
Malam ternyata juga mempunyai sifat yang sama seperti cermin ; merubah!

Saat hening tak bergeming,
saat sepi menjadi saksi,
saat senyap dan sunyi lepas dari adegan segala bentuk bunyi, muncullah perenungan akan kontemplasi hidup dari malam.
Kita seperti dihadapkan cermin raksasa atau benggala yang akan 'memperlihatkan' tingkah kita.
Malam mengantarkan kita pada perenungan, tanpa pernah menjemputnya kembali. Mengajak kita untuk merefleksi makna kehidupan yang hampir kita lupakan. Namun malam tetap menolak lupa!
Lalu setelah kita tak tau jalan untuk pulang, malam tentu segera melelapkan kita.

Maka, dari situlah saya pribadi menyukai malam.
Malam yang (telah) merubah hidup ini dengan sukses.
Bagiku malam itu eksotis.

Bagimu?
Tentu aku tak tau...
Kasih tau dunk....he.



-dB-
Yogyakarta | 3 Desember 2009
Rabu, 02 Desember 2009 0 komentar

Midnight, I like


Setiap matahari terbit dari timur, aku selalu menganggapnya musuh.
Karena aku pikir dia telah menyirnakan Malam yang kutunggu lama.
Sebaliknya, jika bulan hadir dan bintang mulai bermain, aku akan menghabiskannya dengan panjang.
Aku memang begini : selalu suka sunyi, tenang, dan dingin.

Seperti itulah perjalananku bersama Malam.
Malamku teruntai menjadi samudera kata. Dia membangun ruang imaji tersendiri. Dia jugalah yang mengenalkanku dengan segudang permasalahan disekelilingku.
Membongkarnya berkeping-keping dan merakitnya kembali.
Seperti kerasan, aku tak mau pulang dari Malam.

Sering kiranya aku 'diomelin' Malam agar segera pulang berselimut.
Mukanya memburam, membuat langit semakin gelap.
Kawan, Malam akan seperti itu jika sedang menasihatiku.
Bintang dan bulanpun memutuskan untuk sembunyi, itu pertanda Malam akan membadai.

Jika Malam tersinggung, maka bersiap-siaplah menghidupkan kipas angin atau memencet tombol on pada remote AC, sebab udara akan dipausenya dan keringatmu akan menderas. Kadang Malam juga senang bercanda dengan mendongengkan kisah-kisah horor kepadaku, tapi aku selalu tak takut. Karena aku pasti akan menyalakan lampu kamar tidurku dengan 10 wattnya. Cukup terang, bukan?

Suatu hari aku menceritakan Matahari kepadanya. Aku bilang kalu setiap siang dia selalu datang membagi terang. Tapi Malam diam saja. Itu pertanda Malam tak mengenalnya.
Wajahnya cemberut seperti cemburu mendengarnya. Mengartikan bahwa Malam tak mau ada dualisme perhatian. Aku bisa memahami itu. Kami saling menjaga perasaan...

Jika Malam sedang penat, dia akan mengajakku bergadang menonton big match pertandingan bola antara Inter Milan vs Real Madrid yang bermain imbang dengan skor 2-2.
Namun jika Malam sedang murung, dia selalu merequest lagu yang kunyanyikan bersama gitar bolong warna hitam polos.
Asal tau saja kawan, lagu yang dia pilih selalu bergenre Melayu. Lagu yang mendayu-dayu...
Dan selalu begitu, aku selalu tak tau apa mau dan inginnya. Tak bisa ditebak. Keinginannya mendadak berubah, seperti kunci gitar yang kupetik : dari C ke D lalu ke Am.



-dB-
Yogyakarta | 2 Desember 2009
Selasa, 01 Desember 2009 0 komentar

Kado Do'a


Udara begitu sunyi, mirip ketika murid dibentak guru ketika membuat gaduh kelas atau ceriwis sendiri saat diterangkan.
Ruangan menjadi hening. Bahkan menadahkan wajah kedepan saja tak berani.
Benar-benar seperti itulah setting lokasi rumah, kini.

Kini, aku sendiri bersama tumpukan masa kecil yang diabadikan fotografer amatiran.
Bahkan sangat amatiran! Sekali lagi ah ; amatiran.
Perlu saya tegaskan karena gambar di foto itu sungguh tak menampilkan keadaan yang sesungguhnya. Beda. Pokoknya tak mirip, deh.
Bukan maksud hendak mencela sipemfoto tersebut, mungkin juka karena kamera poket saat itu memang belum canggih seperti sekarang.
Kamara digital belumlah lahir, kalau sudahpun kami belum tentu bisa mendapatinya.
Kamera dulu sangat manual, belum menggunakan memory card yang kalau hasilnya kurang memuaskan bisa didelete. Apalagi dengan resolusi sampai 10.1 megapixel sehingga sanagat mempertajam objek pemotretan.

Ya, saat itu belum 'ada' kamera digital batrey charger yang praktis.
Namun album foto itu tetap aku simpan baik-baik —walau warna dan rupa tak sepenuhnya diwakilinya. Album tua itu menghantarku dengan pesawat jet atau bahkan kereta peluru bawah tanah ketempat dimana aku menghabiskan masa kecil dulu.
Kendaraan tadi begitu cepat, begitu singkat menghadirkan suasana rinduku akan kasih sayang umat manusia yang ada disekitarku.

Berhamburan bukti nyata dalam foto itu. Ekspresi wajahkupun terlihat selalu riang, senang dan juga girang.
Aku merindukan itu. Aku ingin 'mengembalikan' kasih sayang itu pada mereka. Aku sangat mengebu ingin membalas cinta meraka. Aku ingin berterima kasih juga atas nama kasih sayang!

Aku sesungukan. Air mataku meleleh melihat ketulusan mata mereka. Senyum yang sangat alami. Hati yang selalu dibungkus kesederhanaan. Raga yang kurus, wajah yang tirus, rambut yang tak lurus (walau sekarang jauh berbeda, mungkin karena faktor ekonimi). Ya, kami tergolong ekonomi menengah kebawah yang paling bahagia saat itu.

Akhirnya, sambil kubiarkan derasnya mata air air mataku menghujami bumi, dengan dada yang sesak dan perasaan yang dihimpit rindu, aku mengado do'a untuk kekekalan kebahagiaan meraka. Sebesar seperti kebahagiaan yang telah mereka berikan untukku. Sama persis. Tanpa kurang sedikitpun. Itu saja.



(Bingkisan do'a teruntuk yang mencintai aku tanpa mengharap dicintai | Yogyakarta, 1 Desember 2009
Kamis, 26 November 2009 0 komentar

RIKAKU ; Rindu Kawanku


Aku selalu kebingungan ketika iseng menerka-nerka siapa sebenarnya sosok dirimu.
Sungguh kehadiranmu seperti menyiramkan tanah gersang jiwaku dengan air murni dari pegunungan,
memaksimalkan volume im3 kesukaanku dengan speaker yang menghentakkan dadaku, dengan maksud meramaikan kesepianku,
memutarkan dvd film box office ketika aku jenuh dengan isi kepala yang hampir penuh.

Jujur nih, kebersamaanmu selalu saja menggenapkan jiwa yang ganjil,
menambal dinding hati yang keropos,
atau mungkin juga mengecat ulang warna ruhku yang telah usang.

Mengenalmu serupa bertambah satu lagi saudara kandungku.
Aku tak bisa menunda pemberian bingkisan rasa bahagiaku kepadamu.
Sehingga aku sering kesulitan memahami arti persahabatan.
Karena jika diurut-urut lagi,
persahabatan yang sajati itu bagaikan hubungan kakak beradik yang tak pernah bertikai —membackup kekurangan.

Hey, persahabatan yang sajati itu bagaikan hubungan kakak beradik yang tak pernah bertikai....?
Iya!, kali ini aku serius.

Apakah kau (ke)bingung(an) dengan statmenku ini?
Oh, coba kau terka sekali lagi ; persahabatan yang sajati itu bagaikan hubungan kakak beradik yang tak pernah bertikai,
bukankah ini sesuatu yang tenang jika didengar,
syahdu jika dilihat dan
merdu jika diucap.

Jika kau menganggukkan kepala tanpa aku suruh, itu pertanda kau sepakat :
persahabatan yang sajati itu bagaikan hubungan kakak beradik yang tak pernah bertikai.

Kawan, terima kasih.
Kau begitu nyata menata puzzle hidupku ini...



(Untuk yang (juga) sering kesulitan memahami arti persahabatan | Yogyakarta, 26 Noember 2009)
0 komentar

Sepeda Hijau


Aku masih ingat betapa cintanya kau padaku.
Saat itu, ketika kita masih belum jago bertransportasi mesin, kau kayuhkan sepeda untukku.
Ya, tenagaku memang tak seperti ragaku, sampai banyak orang yang terheran.
Tapi tak apalah, biar apa kata dunia.
Kita tetap saja melaju, walau kadang kaki kecilmu tak kuasa lagi menghempasnya.
Tapi kau selalu saja berusaha. Aku suka itu...
Aku lihat semua, namun aku pura-pura bersikap biasa —aku diam saja.
Itulah kau, saudara kecilku.

Kini kau telah dewasa. Telah mengenal dunia.
Bisa melihat warna tanpa intervensi orang lain. Tanpa celah. Tanpa sekat.
Mengantongi ilmu yang kau citakan sejak lama.
Lalu apa langkahanmu kedepan, saudaraku?

Pahami agama yang telah dikenalkan orang tua kita. Hanya itu pesanku.
Sebab kita tidak akan tau calon peristiwa dimuka, nantinya.
Kita akan selalu digulung ombak kewajiban, dihempas badai aturan dan terus disengat terik tanggungjawab. Terus dan terus!
Itulah zig-zag alur perjalanan panjang kehidupan ini.
Perjalanan yang tak sesimetris ketika kau menggambar sketsa tugas dari dosenmu kini.

Tentu kau telah mengerti, bukan?
Ya, aku hanya berusaha mendiskon ilmu 'tua'ku padamu.
Kenapa tidak kugratiskan saja? Ah, aku hanya ingin kau menaklukkannya sendiri.
Sehingga akupun akan sangat bangga padamu.
Mungkin sebangga ketika kau kayuhkan sepeda hijau stang jengki untukku kala itu, saudaraku.




(NB : Sepeda hijau itu telah dicat ulang menjadi hitam dop dengan kondisi yang tidak layak pakai | Yogyakarta 26 Noember 2009, Pukul 01.00 dini hari)
Rabu, 11 November 2009 0 komentar

Oh Jakarta, dengarkanlah (smsku)!


Aku bukan pembatik, yang kadang malamnya dihabiskan untuk bercengkrama dengan malam.
Aku juga bukan petani, yang setiap siang harus rajin menyiangi sawah ladangnya.


Aku terjaga di pagi buta,

menerjang ganas disulut siang,

menghelai lembut aroma sore,

dan dibungkam lelap nyanyian malam.

Oh Jakarta, dengarkanlah!

(Bermula sekedar sms, Jakarta 10 November 2009)
***

pic
Senin, 19 Oktober 2009 0 komentar

Bencana, ku tak tanya dimana?

Bahakan tawa hanya mengantarkan kepada sedunan tangis.
Teriknya siang dapat mengelupasi kulit.
Sedangkan gigilnya malam bisa membekukan jiwa.
Oh, hembusan angin jangan kau terlalu kuat.
Gemuruh petir terasa sungguh hebat.
Turun hujan, kupikir sudah terlalu lebat.
***
Banyak hati yang tersayat.
Mereka menginginkan pergi jauh--minggat.
Namun kemana?
Kami tak mampu menghindar!
***
Mungkin kami tak lagi ingat akan pesan di Ayat.
Mungkin khianat telah merakyat.

Dunia, kuharap kau baik-baik saja.
Kuinginkan engkau pijakan yang akan selamat...
***
Pohon kembali berbuah, dan ternak banyak beranak.
Cinta kembali menyapa, sedang kasih bertemu, tak bisa tersisih.

Untuk itu, kami akan berdo'a, memohon, mengakrabi, mengiati dan khusuk menyembah padaMu.
Untuk itu, kami akan menjauhi hal yang Kau benci, Kau jijiki, Kau maki dan Kau laknat.

Ya Rabb, sang Tuhan.


Gambar diambil disini
Kamis, 10 September 2009 0 komentar

Menunggu

Hatimu memang telah tertutup tanpa ada celah.
Biarlah kutunggu hingga datang sepasang jenuh dan lelah.

Kuyakin suatu saat pasti akan terbukakan.
Seperti jendela, merindukan datangnya semilir hening udara pagi...

Sampai kapan kau harus tersembunyi?
Bintang saja akhirnya muncul, setelah mendung meraba sang malam.
Sampai haruskah kutodong siang hanya untukmu merasa senang?

***
Selalu, sinar tenar yang terus kau cari!
Padahal malam buatmu merenung.
Tapi kau persetankan juga nasihatku ini.
Hingga kau marah dan tak lagi ramah.

Telah bosan kupintakan berulangkali kata maaf!
Toh, kau tetap saja keras kepala, kaku serupa huruf Alif.

Mengertilah, nasihatku tak akan menyesatkanmu...
Layaknya seorang ibu menyeramahi anaknya untuk tidak bermain hujan.
Kau tau?Karna hujan hanya akan membuatnya menggigil kedinginan.

Akhirnya aku hanya bisa menunggu.
Menunggu, hingga kau 'mau' kuganggu.

(Jakarta, 09/09/09)
Selasa, 08 September 2009 0 komentar

Daytime Promise

Ingatkah dirimu, bahwa janji kita terlanjur tergantung tinggi dilangit-langit rumah impian yang kita bangunkan dari materi-materi keyakinan?!
Ya....lalu kita sepakati untuk memanjat dan menggapainya.

Kau payahkan beribu-ribu anak tangga langkahanmu, sedang aku sedikit berbuat curang dengan galah bambu yang kusambungkan tali disimpul mati.
Masihkah kau mengingatnya?

Namun semuanya belumlah terkena.
Hingga kau tergelincir dan hampir terjatuh tak kuasa meraihnya.
Masihkah kau mengingatnya?

Oh, janji itu kini masih melayang layangan diantara handphone kita...
Handphone yang siang itu hanya aku getarkan, takut mengganggu keintiman pembicaraan.
Namun ternyata tetap kuangkat juga, karena kamu terus saja memanggilnya.


Tadinya aku pikir hanya sekedar menyapa biasa, hingga akhirnya tersimpul janji diantara kita.
Masihkah kau mengingatnya?

Harus kau mengingatnya, paling tidak ; pesta rakyat momentumnya.
..
Jika mungkin khawatir akan terlupa, baiklah aku kirimkan pesan singkat saja ke nomermu.
Sehingga bisa kau baca kapan saja, dimana saja.
Bahwa kita pernah berjanji.
Janji yang tersambung diantara handphone kita, siang itu.

(Jakarta 2009, siang didepan Menara Masjid Al-Hikmah)
Senin, 07 September 2009 3 komentar

Terima[lah] Kasih

Menjalin kasih berbeda saat menonton sinetron.
Disini selalu ada perubahan, tiada pernah monoton.

Menjalin kasih, berbeda ketika menyeruput cappucino dimalam hari.
Kasih tak akan habis, menyisa dibibir cangkir.

Menjalin kasih berbeda rupa menatap sunset menjelang sore.
Kasih tetap saja semburat, tak akan tenggelam.

Menjalin kasih juga bukan sama menyantap Pizza dengan lahapnya.
Kasih tak suka terburu, berjalan hening tertahap.

Oh kasih...masihkah kau ditempat itu?
Bersemayam diantara lilin dan vas bunga.
Basah terciprat semprotan parfum dari Paris.
Rasa nervous saat saling menatap didepan menu siap santap.
Atau nyayian syahdu dari rindu yang menggebu.

Kabarkanlah, kabarkan bahwa kau tak hanya sekedar datang untuk mampir sejenak.
Namun juga mewujud, menemani jiwa yang ganjil.

Sampai kelak, sampai waktu yang mutlak.
Saat tiada jarak, yang selalu memaksa menawarkan berkali-kali cawan berisikan arak.

(Jakarta. Ramadhan 16, 1430 H)
0 komentar

Kamar Hilang


Menyalakan lampu pojok meremangi gelap kamarku.
Kamar yang penuh dengan gambar, juga bendera yang tak terkibar.
Kamar itu semestinya tak sendiri. Lagi.

Kehidupkan musik pada sebuah radio tape model lawas, sekedar mengusir hawa sunyi, tentunya.
Tepatnya berharap dapat menghibur. Ya, aku hampir lelah mencari hiburan yang telah lama hilang.

Ah...aku terbaring lagi pada dinding tubuhmu...
Untuk sekedar mengingat perjalanan seru ingatan-ingatan masa lalu. Bermain gurau, itu saja!

Hohoho...ternyata aku tak kuasa...
Sayangnya aku belumlah bisa...

Sampai kinipun aku selalu menyimpan tanya (?)
Dimanakah aktifitas nakal itu kini?

Seolah, menguap bagaikan asap saja...

(Jakarta, pada kamar langit hitam | 7/09/09)
Kamis, 27 Agustus 2009 0 komentar

Dendam; Aku sedang sensitif.....

Menanti angin segar datang merangkul
Jenuh dengan alunan nada kehidupan monoton
Mengapa kau tak bisa pahami segala?
Apakah nanti, sampai hati ini menciut?
Aku sedang sensitif.....
Muncul kesadaran yang kurasa telat
Setelah waktu terpaku untuk yang lain
Cukup sudah harus diakhiri
Sebelum penyesalan semakin saja menggunung
Aku sedang sensitif.....

Jauh disana ada seberkas cahaya
Walau hanya sinar yang sangat mungil. Remang.
Tak apalah!, biar begitu buatku melihat
....menatap kebahagiaan, senyuman, keceriaan dan kasih sayang
Aku sedang sensitif.....

Berkutat menahan, ternyata telah marah sudah
iya...iya..., sudahlah aku menyerah
Tak ada cerita buatmu mengalah
kembali ke titik balik, namun aku belumlah kalah
Aku sedang sensitif.....

Maaf, dendamku akan berkata kaulah teriknya siang
Kebencianku tentu bergumam, hujan deras tak lain kau
Traumakupun telah mencatat, angin badai dibalik senyummu
dan maaf!, ragaku tak sudi lagi berjalan merunduk didepanmu
Aku sedang sensitif padamu, Hedon!!*


* Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya 1x, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul Nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati."
Diambil dari sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme
Rabu, 26 Agustus 2009 0 komentar

Rakus

Kencang berlari mengebiri detik, menit berputar dari jarum 3 menuju ke-3 lalu kembali ke-3 lagi dari 12 titik yang ada.
Kuda jantan lalu liar menghentakkan otot-otot kakinya tanpa pelana.
Apa yang kau cari?


Langit tak hendak seketika runtuh, samudrapun tak akan susut mengering.
Apa yang kau cari?


Tak habis aku pikir, atau malah pikiranku yang terbatas?
Oh, tenang.....tenang.....masih ada esok hari.
Jangan khawatir, jangan pula keburu!


Bintang langit masih gumintang, air gunung tetap jernih, suarapun masih berbisik lirih bergesek diantara ruas-ruas batang bambu.
Apa yang kau cari?


Semua juga menginginkan dunia, namun inginmu semua.
Bah...!! kami makan apa?


Tak pernah ada yang cukup, banyak sekali pilihan dan alasanmu.
Apa yang kau cari?


Bukankah sering kau datangi orang suci berjubah untuk berkotbah? Lalu bergegas merapalkan ayat-ayat-Nya, kemudian? Namun agaknya masih sama saja.
Apa yang kau cari?
Kamis, 23 Juli 2009 0 komentar

Pesimis

  • Kaupun telah menjadi rahasia bersama/rahasia tanpa ketertutupan//Cerita rahasia yang tak pernah dijaga/cerita itu berhembus kesetiap sudut.
  • Bagai bunga perlambang cinta.
  • Akupun tau, tak semua bunga itu wangi!
  • Layaknya kupu simbolkan keindahan.
  • Akupun mengerti, nantinya akan berubah rupa juga!
  • Seperti benderangnya cahaya siang.
  • Akupun paham, sesaat lagi petang akan datang!
Selasa, 14 Juli 2009 0 komentar

Yang Maha Esa


Tersenyap sejenak ditengah kebisingan,
mengundang naluri untuk merefleksikan :


"Kenapa hidup kita musti diserahkan kepada Yang di-Atas, jika Yang di-Atas saja telah menurunkan kitab suci_NYA?"

Seperti gemuruh ramai,
ada yang berkata : Hai kau, telaahlah kitab_NYA, jika tak mau celaka!!
0 komentar

Jeda De ja vu

Sepertinya aku mengenal betul tatapan itu.
Coba kuramu, namun tak pernah ketemu.

Dimana??
Apa?
Siapa?
Kapan?

Dekat! padahal masih 122 kilo meter lagi...
Akrab, bukankah baru mengenal?!
Tau, kok aneh terasa...inikan yang pertama??
Paham!!!
Jelas!
Terang!

Jedakan sebentar,
jedakan ini....!!!
Aku mengerti.
Akan terjadi.
Senin, 13 Juli 2009 0 komentar

Ironis, dB 21:05

Jika ku bahagia yang kau tiada,
ku t'lah ber-pesta pora(k-poranda) merayakan sengsara.
Lalu aku pun ber-dansa menik(mati)nya,
sedang kau ber-dosa karna membencinya.
0 komentar

Kupu(nya) kupu

Kupunya pikir seperti kupu.
Selalu berubah, berbeda sesuatu.

Kupunya pikir seperti kupu.
Sekilas malaikat, sekilatnya jadi hantu.

Kupunya pikir seperti kupu.
Kupikir kupu seperti aku!
2 komentar

Fana di-fana-tikan

Aku heran pada dunia,
jelas-jelas fana namun banyak yang fanatik.
Akhirat yang nyata,
dianggap maya.
Kasihan kau, saudaraku.
Sungguh kasihan.
Aku ingin kesadaran ini juga milikmu,
kawan?!

Milik kita semesta alam.
Beristigfarlah.....
Bertasbihlah....
Bersholawatlah...
Bidadari surga begitu cantik.
Bukankah itu, lebih menarik?!
0 komentar

Jalan Buntu Kuldesak

Celaka aku, andai dulu jalan ini tak kulewati
Pasti ku tersesat dalam jalan buntu kuldesak
Risau hati ini mendengar keputusasaan
Marah jiwa ini mendengar kekecilan hati
.............

Ragaku masih berdiri tegak.
Harusnya dapat diselesaikan!
Tidak pernah atau sekarang juga!!
Senin, 06 Juli 2009 0 komentar

Sengaja senja itu...

Tahan sebentar senja, ku ingin melihat wajahnya.
Tunggu sejenak senja, sisakan sinarmu sejenak saja...
Berikan waktumu se-detik, se-menit, se-jam tapi bukan se-abad kok.
Ingin ku-simpan gelak tawa, senyum dan cinta-nya di-indra-ku.
2 komentar

Cinta di mata-ku

Bagiku cinta bukanlah cahaya, karena dia tak pernah redup.
Bagiku cinta tak serupa mawar, karena dia tak akan layu.
Bagiku cinta bukan juga sebatang coklat, tersebab dia tak bisa basi.
Cinta itu makhluk yang menghadirkan bahagia.
***
0 komentar

Ketakutan sepi(hak)

Lagu merdu masih menyimpan sejuta lara.
Tergeletak sepi hanya sebatang kara.
Dinda diam dengan amara murka.
Kangen aku mendengar berkata.
0 komentar

(Meng)gila(i) Cinta

Merah!!, bukan...itu mawar!
Hijau!, halah...itu daun?!
Kuning, iya mungkin kuning??
Tapi kurasa bukan.

Dia lebih dari itu!!
Dia bukan satu warna.
Dia sejuta warna bagi aku!
0 komentar

Siang & malam-ku

Siangnya sangat menyengat, dinginnya malam menusuk rusuk.
Sementara semesta alam terus saja menampakkan wajah yang beringas, sadis.
Air enggan mengalir, angin tak sopan berhembus, tanah menggugat, marah!
Akan tetapi bintangku masih membuang sayang, padamu.
0 komentar

Puisi Gelap

-Kepada yang ber-sms malam kepadaku-

Aku adalah was-was, yang pernah (dan akan) datang dihatimu.

Aku serupa rumit, yang kapan saja mampir diotakmu.

Aku memanglah ketakutan-ketakutan dari semua semu-mu selama nanti (dB 22:20).

0 komentar

Bintang-bulan

Aku hendak memilih bintang, namun cuaca begitu mendung.
Kita berhak memandang bulan, namun bulan hanyalah satu.
 
;